

Siapakah gerangan kaum intelektual? Shafwan Hadi Umry mencuplik budayawan Ignas Kleden, yang mengutip pula Edward Said (2024), Dia adalah seorang yang dapat melepaskan diri dari jebakan semangat dan sentimen kolektif. Ia berjalan lurus pada nilai-nilai transedental yang universal.
Kleden juga meminjam Julian Benda (filosof Perancis) yang menegaskan intelektual tidak mengejar tujuan praktis, meraih keuntungan material, melainkan keuntungan non-material. Seorang intelektual tidak menyepi di ‘menara gading.’ Tapi terlibat dalam isu yang terjadi di masyarakat. Misalnya, melawan kekerasan, korupsi, dan berbagai ulah penguasa, atau siapapun.
Demikianlah, pengantar buku “Sehari Dalam Kehidupan Cendikiawan dan Sastrawan” karya Shafwan, peraih S3 dari Fakultas Ilmu Budaya USU Medan pada 2014 itu. Mantan dosen UISU, Unimed dan USU Medan itu menulis sekilas tentang pemikiran banyak tokoh budayawan, bahasa, ulama hingga penyair tersebut.
Saya diminta untuk membedah buku tersebut di Aobi Cafe Medan, Kamis 21 November lalu. Padahal, he-he, awak ini apalah. Saya membacanya perlahan-lahan. Saya menemukan sesuatu yang dimiliki oleh para tokoh tersebut. Yakni, adanya kepeloporan dalam paradigma berpikir. Walau tidak semuanya. Setidaknya, ada sesuatu yang khas, atau unik.
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) misalnya menggegerkan dalam Polemik Kebudayaan pada 1930-an. Dalam artikelnjya di Majalah Pujangga Baru, 1935, STA membedakan “Zaman pra-Indonesia” hingga akhir abad ke-19 dan “zaman Indonesia Baru” yang mulai pada awal abad ke-20. Zaman Indonesia Baru, bukanlah sambungan dari Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. “Tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat,” tulis Takdir. Tapi Sanusi Pane dalam tulisannya berjudul Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), menulis: “Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu…”
Poerbacaraka mengatakan, sebaiknya janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga. Keduanya harus dipadukan.
Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis makanya mati, sementara kebudayaan Barat bersifat dinamis makanya terus eksis dan menguasai dunia. Di mata STA, Indonesia harus mengganti “kiblat”-nya ke Barat agar bisa bangkit dan sejajar dengan Barat.
Polemik itu masih relevan hingga kini. Kendati pada dasarnya Indonesia telah mengadopsi Barat, misalnya, di bidang hukum, demokrasi dan perekonomian, namun tetap belum dapat mengungguli Barat. Bahkan, kita terhegemoni oleh Barat.
Ketika Donald Trump memenangkan Pilpres AS, kita cemas akan dampaknya. Kita masuk dalam pusaran globalisasi yang didominasi oleh Barat (AS). Apapun yang terjadi di AS akan memengaruhi kita. “Menjadi” Barat saja ternyata tak cukup. Jadi, harus bagaimana?
Memang repot. Mustahil sebuah negara bisa berdikari tanpa ketergantungan kepada negara lain.
Namun Jepang, China dan India menunjukkan fenomena lain. Walau mengadopsi Barat tapi mereka tetap setia dengan jati dirinya. Dengan samurai, kungfu, busana sari dan lagu serta tarian India, mereka tetap berkemajuan.
Berbagai tokoh ditampilkan Shafwan. Ada ulama Arsyad Thalib Lubis, tokoh bahasa Sabaruddin Ahmad, hingga penyair nasional Taufik Ismail dan Siti Zainon Ismail dari negeri jiran. Juga penyair Medan seperti A Rahim Qahhar, NA Hadian, LK Ara. Herman KS, Suilaman Sambas dan Zakaria M Pase.
Juga tentang Damiri Mahmud. Dia adalah penyair yang “merasa terbuang‘ dari tanah airnya dengan “peminggiran Tanah Melayu.” Ini tercermin dalam puisinya, betapa bau reruku dan kemangi manisnya kembang semangkuk biji selasih, bunga kopi yang semerbak hilang dan tenggelam timbul dalam kenangan .
Damiri menyindir peminggiran ‘tanah Melayu’ karena kebijakan penguasa. Kampung menjadi desa. Kebijakan Kepala adat dan penghulu yang diputuskan melalui konsensus ‘tali berpilin tiga’ pemerintahan, ulama, dan kaum cerdik pandai di zaman dahulu diubah menjadi kepala desa, camat, bupati, gubernur dan presiden.
Kearifan lokal macam Dalihan Natolu dan Tigo Tungku Sajarangan telah dimarjinalkan. Kini desa disibuki dengan Dana Desa, nyaris Rp 1 miliar saban tahun. Tak sedikit pula yang dikorupsikan.
Shafwan juga berkisah tentang ‘Presiden Puisi‘ Sutardji Calzoum Bachri. Saya mengagumi kredo puisi Tardji sangat unik. Dan baru. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Atau kursi sebagai tempat duduk. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Timbullah hal-hal yang tak terduga yang kreatif. Inilah kepeloporan Tardji. Simak sajaknya berjudul “Mana Telurmu?”
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Bertelur dan menetas tak lagi monopoli ayam dan bebek. Tetapi menjadi kosakata kebudayaan manusia. Tardji juga seorang oposan, walau tak berpartai politik. Simak puisinya berjudul “Tanah Air Mata.” “Tanah air mata tanah tumpah dukaku/Mata air mata tanah air kami/Di sanalah kami berdiri/ Menyampaikan airmata kami.”
Kemudian, “Kalian sudah terkepung, takkan bisa bergerak/takkan bisa kemana pergi/menyerahlah pada kedalaman airmata kami.”
Sedemikian cintanya kepada kebenaran dan keadilan, seniman kadang sangat obsesif. Tapi, kita bertanya: Siapa yang terkepung? Siapa yang menyerah, jika memetik puisi Tardji? Buktinya, koruptor merajalela. Praktek dinasti politik melenggang kangkung. Sementara, penyair tak punya fraksi di DPR. Tanpa kekuasaan.
Barangkali, benarlah filsuf Yunani Plato dalam ‘Republik Plato’ yang dicuplik Shafwan. Plato bercita-cita sebaiknya para pejabat yang berkuasa harus dapat bertugas bukan saja sebagai filsuf, melainkan juga sebagai pujangga dan budayawan.
Tapi inipun menjadi problem. Menjadi presiden di Indonesia harus melalui jalur politik. Katakanlah ada, sebab tidak ada yang tak mungkin dalam politik, maka presiden yang menjadi seniman harus berpolitik juga. Seni bisa menjadi alat politik. Bahkan, mengabdi kepada politik. Bagaimana menyusun APBN dengan puisi? Melobi parlemen dengan reportoar drama? Marilah kita diskusikan.
Barangkali, beda dengan Vaclac Havel yang menjadi Presiden Cekoslavia pada Desember 1990. Sastrawan, dramawan itu menulis banyak puisi, teks drama dan novel yang mengiritik rezim yang tidak manusiawi. Pentas dramanya dilarang. Berkali-kali ditangkap dan dibui. Saat dibebaskan ia memimpin revolusi beledru, tanpa berdarah-darah, pada November-Desember 1989, yang menggerakkan mahasiswa dan meminta rezim komunis lengser.
Pendek kata, rezim komunis tumbang dan digelarlah Pemilu, yang dimenangkan Havel. Pertanyaannya: Adakah tokoh macam Havel di Indonesia? ** (Opini di Harian Analisa Selasa 26 Nov 2924)
Penulis adalah jurnalis menetap di Medan