Kononlah Literasi | Esai : Windi Syahrian Djambak

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Loading

KONONLAH LITERASI

Dulu, berbekal perkataan (yang katanya) dari Socrates, yang kira-kira berbunyi, “Bagaimanapun, menikahlah. Kalau kau mendapatkan istri yang baik, kau akan memetik kebahagiaan.Kalau kau mendapatkan istri yang buruk, kau akan menjadi seorang filsuf ” sempat membuat saya tidak mau menikah.

Bagaimana mungkin saya harus bertaruh nasib hanya karena diiming-imingi menjadi filsuf? Apalagi saya dahulunya termasuk orang yang, meski tidak bisa dibilang anti, bisa dibilang takut terhadap yang berbau filsafat. Bahkan saya curiga Plato dan Socrates ini lebih menyerupai Fajar Sadboy, yang terlalu digadang-gadang hanya karena mengeluarkan pituah-pituah indah, meski sebenarnya tak lebih dari sebuah curhatan belaka.

Bahkan, berdasarkan kesimpulan prematur itu pula, saya—meskipun saat itu belum menikah—mengidentfikasi diri sebagai seorang yang tanpa sengaja sudah menjadi filsuf ulung, mengingat betapa seringnya saya dicampakkan dan diperlakukan buruk oleh mantan-mantan pacar. Bisa dilihat begitu banyak tulisan berupa status galau nan (najis) puitis di beranda Facebook ketika itu.

Ternyata, itu hanya pikiran yang sombong tak tahu diri saya akibat tidak pahamnya mengenai apa itu filsafat. Filsafat ternyata lebih luas dari sekadar kelihaian bermain kata-kata yang (konon katanya) terlahir dari perenungan panjang.

Hal ini saya pahami baru beberapa hari yang lalu ketika mengikuti kuliah (yang tidak) umum dari fenomenolog Riau yang namanya sudah saya ketahui sejak lama, yakni Profesor Yusmar Yusuf. Saya mengetahui beliau sekitar tiga belas tahun yang lalu, ketika masih kuliah semester empat dan tengah bergairah mengikuti organisasi yang rutin menyelenggarakan diskusi.

Saat itu saya disuguhi bacaan yang sekilas ketika melihat sampulnya lebih menyerupai diktat kuliah, berjudul Langit, Melayu, dan Aras Mustari. Rupanya benar adanya bahwa jangan menghakimi buku dari sampulnya. Siapa yang menyangka bahwa buku bersampul sederhana itu justru yang memantik saya untuk bercita-cita menjadi penulis.

Tulisan dan ulasan beliau begitu apik dan tersusun menarik, terlalu sastrawi untuk sebuah opini. Lama saya berkeinginan untuk belajar dengan beliau hingga kesempatan itu datang tiga belas tahun kemudian (setelah perjumpaan dengan buku beliau).

Saya diundang oleh founder Salmah Creative Writing untuk mengikuti kajian budaya yang bertajuk, “Pembatinan Kebudayaan: Kenapa Literasi?” Tentu saja saya senang, sebab bisa mendengar langsung kuliah dari beliau, meski juga sempat khawatir, akankah saya menjadi murtad ketika mengikuti kajian filsafat dari beliau?

Kekhawatiran itu semakin menjadi ketika beliau membuka dengan argumen-argumen yang “berani” (sebuah eufenisme dari kurang ajar)dan membuat jantung saya deg-degan.

Seperti mampu membaca pikiran saya, beliau berujar, “Saya sengaja membuka dengan basmallah dan tidak mengucapkan salam karena ingin membuat orang sakit hati dulu. Makanya saya simpan ucapan salam.” Beliau tertawa, yang lain juga demikian, sedang saya hanya tersenyum kecut.

Lalu, tanpa diduga-duga, setelah beberapa saat membuka dengan pikiran-pikiran uniknya, beliau kemudian mengucap salam dengan takzim. Sebuah punchline yang tak terduga.

“Saya sengaja. Anak muda sekarang banyak yang mengaji dan bertuhan dari Youtube. Sehingga gampang mengkafirkan orang. Baru mengaji sebentar sudah merasa paling sufi. Mana tahu ada yang mau mengkafirkan saya juga. Padahal, hakikatnya sufi ibarat pisau yang menikam ke dalam, bukan melukai ke luar,” ucapnya sambil tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih kokoh untuk ukuran pria seusianya.

Ah, saya merasa ditipu oleh penampilan beliau yang “mengesalkan” (sebuah litotes barangkali, untuk menunjukkan kekaguman saya terhadap beliau). Tapi, bukankah filsuf memang suka menipu? Untuk menghibur diri, saya hanya bisa berujar dalam hati, Untung saja selama ini saya jarang berpikir, maka ketahanan otak saya cukup resistan terhadap serangan filsafat. Maklum, barang ori.

Lalu, pria tua itu mulai menjelaskan mengenai kenapa ia memilih tema sebagaimana yang disebar pada poster. Beliau menjabarkan bahwa ternyata, literasi sudah (barangkali hampir) kehilangan peranannya. Ia tidak sepenuhnya berkah. Adakala ia menjadi sebuah kutukan. Bahkan Plato sempat mengatakan bahwa salah satu skandal peradaban manusia adalah literasi. Betapa tidak, manusia dahulu adalah pengingat yang ulung. Namun, semenjak Hermes (dalam bahasa Arab Hurmus) atau dalam bahasa Ibrani Enoch, yang juga dikenal sebagai nabi Idris dalam tradisi Islam, mengenalkan aksara, manusia menjadi ketergantungan terhadap aksara. Semua hendak ditulis, bahkan parahnya lagi, aksara digunakan untuk menakut-nakuti manusia dengan ragam undang-undang.

Saya menjadi teringat kisah Hermes, dewa penyampai pesan tradisi Yunani, yang mungkin saja terinspirasi dari kisah Idris a.s.

Lebih jauh, beliau kemudian menyampaikan bahwa semenjak adanya aksara, manusia menjadi makhluk yang pelupa. Jauh lebih pelupa daripada simpanse yang tidak mengenal huruf dan angka.

Lantas, apa hubungan antara pembatinan kebudayaan dengan literasi? Beliau menjabarkan dengan pengantar yang saling kait-mengait, yang, bagi sebagian orang (tentu saya tidak termasuk) penjabarannya susah dicerna.

Sebagai contoh, beliau menyebutkan bahwa agama sudah berubah menjadi produk literasi. menurutnya, agama langit diibaratkan sebagai agama telinga, yakni agama yang  mencekoki dogma-dogma yang, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Lain hal dengan agama bumi, adalah agama mata, melihat dan menghakimi berdasarkan apa yang dilihat.

Hal itu dilatarbelakangi oleh asingnya budaya kritik. Padahal semestinya, kritik merupakan salah satu sarana memperhalus budi. Padahal, dalam islam sendiri, ada ayat yang berbunyi Afala Ta’qilun yang diulang sebanyak 24 kali yang menggambarkan mengenai pentingnya menggunakan pikiran, rasa yang dalam beberapa bahasa disebut: Gemuet, le coeur, dan resa atau rase sebagaimana tradisi literasi pra-skandal (pra aksara).

Ia pun mencontohkan kritik dan debat yang mewarnai diskusi antara Plato, Socrates, dan Lyses. Suatu petang, mereka bertiga terlibat sebuah diskusi mengenai syarat sebuah persahabatan. Dalam diskusi tersebut, mereka bersepakat untuk tidak sepakat bahwa persahabatan itu tidak serta-merta dilandasi oleh; reciprocite (kesalingan/timbal-balik), Similarity (kesamaan), dan Difference (perbedaan).

Kesalingan itu biasanya diwarnai oleh puja-puji semu. Hal itu jua yang terjadi belakangan ini di dunia literasi yang mana, menurut beliau, kebanyakan orang bergiat hanya untuk mendapat like dan komentar pujian dari orang lain, sedangkan kritik dianggap sebagai sebuah komentar destruktif yang tidak seharusnya ada.

Kesimpulannya adalah, diskusi dari ketiga orang tersebut aporetik alias buntu dan tidak menemukan kesimpulan.

Untuk menutup kebingungan kami dengan menyimpulkan mengenai syarat persahabatan tersebut dengan sebuah analogi cinta monyet. Cinta monyet itu adalah cinta teoritis dan filosofis. Cinta yang membuat orang mendadak puitis.

Kembali, beliau menghantam dengan sebuah argumen bahwa pasangan yang kita nikahi sekarang bukanlah berdasarkan cinta sejati seperti teori. Ia palsu dan pamrih. Cinta monyet adalah cinta kepada mantan. Adalah ia yang selalu di hati, tapi tak bisa dinikahi.

Saya diam. Merenung, berkontemplasi, dan, kembali mencoba menggali deretan nama mantan-mantan saya. Kira-kira, dari sekian banyak mantan saya tersebut, siapa yang serupa monyet; tetap di hati dan tidak bisa saya nikahi?

Hemm.

Mungkin semuanya, sebab, monyet itu tetap di hati dan tidak bisa saya nikahi.

Sampai ragu, dan beliau berhasil mengerjai saya. Selama beberapa jam duduk bersila di tikar, tidak hanya saya, kami tertegun mendengarkan pilihan diksi dan bahasa beliau yang tanpa jeda, membuktikan bahwa ia sangat paham apa yang harus dikeluarkannya. Agaknya, saya harus sering-sering menggali ilmu dari beliau biar bisa putus kaji.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

3 Komentar
  1. Indrawan, SE, MAP mengatakan

    Moga bisa pedoman dlm pengambilan keputusan yang tepat

  2. Indrawan, SE, MAP mengatakan

    Kita emg harus bisa memilih apa yang pantas kita miliki. Contoh kayak milih istri klu itu sdh pilihan jd lah suami istri yang abadi smpi hayat terakhir

  3. YZ mengatakan

    Pemikiran yg cerdas utk dijadikan pegangan dlm menghadapi pengikisan (pudar) akhlak oleh kedangkalan akal