GUBERNUR DIPILIH DPRD : Catatan Husnu Abadi

GUBERNUR DIPILIH DPRD : Catatan Husnu Abadi

45

GUBERNUR DIPILIH DPRD

Oleh : Husnu Abadi

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan usulan agar pemilihan Gubernur cukup dilakukan oleh DPRD Provinsi saja. Salah satu alasannya adalah pembeayaan yang harus ditanggung negara untuk sebuah penyelenggaraan pemilukada,plus pembeayaan yang harus dikeluarkan oleh masing-masing calon gubernur untuk memenangkan pertarungan. Banyak kalangan partai politik yang memberi tanggapan,  baik yang secara terus terang melakukan penentangannya, maupun yang memerlukan kajian lebih dahulu.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Kabinet SBY 2009-2014, dalam studinya dalam rangka penyusunan disertasinya di STPDN  mengungkapkan  bahwa kasus-kasus korupsi yang menjerat Kepala Daerah semakin banyak sejak sistem pilkada berubah ke pemilihan langsung oleh rakyat. Hal ini dikarenakan biaya untuk mengikuti pilkada dan upaya pemenangannyaa memerlukan biaya yang cukup besar. Disamping itu, pembeayaan itu mengundang pasangan calon untuk mengundang korporasi ikut serta dalam pembeayaan perhelatan politik ini. Dalam perkembangannya pihak korporasi yang ikut serta dalam mendukung paslon, menuntut balas budi dari paslon yang dimenangkannya, untuk misalnya memberikan pekerjaan proyek daerah yang bersumber dari APBD, atau meminta KDH yang ia sokong untuk memberikan izin untuk usaha tertentu yang memberikan keuntungan cepat bagi korporasi, yang dalam banyak hal pemberian izin kategori ini banyak yang tidak memenuhi syarat.

Gamawan Fauzi berhasil meyakinkan SBY dan SBY pun berhasil meyakinkan rekan koalisinya di DPRRI  untuk mengesahkan UU  tentang Pemerintahan Daerah dimana pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi dan bupati/walikota  dipilih oleh DPRD Kabupaten/Kota.  Begitulah bunyi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang tertera dalam pasal 101 dan Pasal 154. UU ini kemudian disahkan oleh Presiden SBY pada tanggal 30 september 2014.  Begitu juga dengan UU No. 22 Tahun 2014 yang ditandatangani pada hari yang sama yang mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Kedua UU ini merupakan satu paket dalam pengaturan pemerintahan daerah.

Tahun 2014 adalah tahun pemilihan Presiden, dimana SBY akan mengakhiri masa jabatannya yang ke 2 pada tanggal 20 Oktober 2014. Beberapa bulan menjelang bulan Oktober, menjelang disahkannya  kedua UU dimaksud, publik melakukan penentangan besar-besaran atas dirubahnya mekanisme pemilihan KDH oleh DPRD yang dianggap merampas hak konstitusional rakyat banyak dalam menentukan pemimpinnya sendiri dan mengkritik Presiden SBY yang telah menerima penghargaan pemimpin yang demokratis, namun diakhir masa jabatannya bertindak menginja-injak demokrasi.

Akhirnya, Presiden SBY merespon suara publik itu, dan kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, tanggal 2 Oktober 2014 dimana pemilihan itu tetap dilangsungkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.  Dengan demikian, khusus mengenai ketentuan pemilihan KDH oleh DPRD seperti yang ditentukan dalam UU No. 23 Tahun 2014 belum pernah dilaksanakan.Bila dilihat tanggal Perpu, maka Perpu itu diterbitkan hanya 2 (dua) hari setelah UU No. 23 Tahun 2014 beliau sahkan sebagai UU.

Kembali ke DPRD. Kini setelah 10 tahun lebih peristiwa gagalnya perubahan sistem pemiihan KDH itu terjadi, Presiden Prabowo  mengemukakan kembali gagasan itu. Banyak pakar yang menentangnya, dengan alasan bahwa justru pemilihan oleh DPRD dapat mengakibatkan calon-calon  KDH hanya ditentukan oleh elit partai politik. Kemungkinan oligarkhi ikut mempengaruhi jalannya pemilihan KDH tetap terbuka bilamana oligarkhi berhadil menaklukkan elit partai sesuai dengan kehendaknya dan sebagai bagian dari transaksi politik ketika pemilihan umum untuk legistlatif diadakan.  Namun bilamana elit partai berhasil menolak rayuan dari oligarkhi, dan murni merupakan kebijakan yang diputus oleh partai politik, maka hal ini dapat dianggap sebagai keberhasilan partai politik dalam menemukan identitas dirinya sebagai intitusi pelaku dan penegak demokrasi. Seacara garis besar plus minus antara pemilihan langsung dengan pemilihan oleh DPRD dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.

 

Tabel 1: Kelebihan & Kelemahan  Pemilihan KDH Secara Langsung dan Melalui DPRD
Berita Lainnya
Kelebihan/Sisi Positif Kekurangan/Sisi Negatif
Pemilihan Langsung oleh Rakyat (1) Diharapkan pemilih dapat menentukan sendiri Kepala daerahnya masing-masing tanpa campur tangan DPRD; (2) Diharap kan dapat memotong kecendrungan menguatnya oligarkhi partai-partai dalam menentukan Kepala Daerah; (3) Mengurangi amalan money politic oleh para wakil rakyat; (4) Diharapkan menciptakan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan lokal; (5) Diharapkan akan memperkuat kualitas kepemimpinan nasional, dimana melalui pemilihan langsung memberi peluang munculnya pemimpin nasional yang berasal dari bawah. (1) Persaingan berpindah dari parlemen ke luar parlemen; (2) Mudah menimbulkan konflik di tengah masyarakat yang dapat mengganggu keamanan lingkungan dan dapat membawa korban jiwa dan harta; (3) Money politic berpindah dari parlemen ke tengah masyarakat; (4) Biaya politik seorang calon KDH, sangat besar, yang membuka peluang adanya mainmata dengan korporasi (pemilik capital), dengan imbalan tertentu (misalnya pemberian izin atau proyek) (5) Fungsi partai politik cenderung melemah, hanya sekedar menjadi tempat lewat calon KDH, bukan sebagai tempat melahirkan calon pemimpin; (6) Dalam banyak kasus, terjadi terseretnya birokrasi (ASN) dalam proses dukung mendukung paslon.
Pemilihan oleh DPRD (1) Prosedur pemilihan menjadi lebih effisien, baik waktu maupun beaya; (2) kualitas KDH terpilih akan lebih bagus karena dikenal oleh pimpinan partai atau elit politik; (3) dalam hal koalisi partai politik berfungsi dengan sehat, akan menjamin stabilitas pemerintahan daerah; (4) terbuka kemungkinan pimpinan partai politik yang baik akan menjadi pemimpin daerah (fungsi recruitment dari sebuah partai). (1) Membuat ketergantungan KDH kepada DPRD, sehingga memaksa KDH lebih memperhatikan anggaran parlemen daripada anggaran publik; (2) Masyarakat tidak terlibat aktif dan tidak ikut menentukan calon pemimin yang dikehendaki, fairness dan tranparansinya melemah; (3) tetap terbuka adanya amalan money politic secara terbatas; (4) kemungkinan dominannya peran elite partai politik;
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

 

Ketika  Presiden Prabowo membandingkan sistem pemilihan KDH melalui parlemen seperti yang terjadi di Malaysia, dan dianggap sangat efisien,  maka dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, sistem pemerintahan parlementer. Parlemen akan menentukan siapa yang akan menjabat kepala pemerintahan yaitu Perdana Menteri. Jabatan Perdana Menteri ditentukan oleh suara  mayoritas di parlemen, dan bilamana suatu partai tidak mencapai angka mayoritas maka ia harus berusaha merangkul (berkoalisi) sehingga mencapai posisi mayoritas. Kekuatan mayoritas itu akan menentukan siapa yang akan menjadi Perdana Menteri. Perdana Menteri harusah anggota parlemen, tidak dimungkinkan menjadi Perdana Menteri  yang berasal dari luar anggota parlemen.

Kedua, sistem pemilihan umum distrik. Sistem ini menyebabkan keharusan seseorang yang akan menjadi Perdana Menteri atau menteri, harus terpilih sebagai anggota parlemen, dan memenangkan pemilihan di daerahnya masing-masing. Sistem distrik bercalon tunggal, mengakibatkan hanya satu kursi yang diperebutkan oleh sejumlah calon di distrik yang bersangkutan. Terbuka munculnya calon tunggal di suatu distrik, dalam hal calon lain beranggapan bahwa mustahil mengalahkan calon tersebut. Kedaan ini menyebabkan calon tunggal ditetapkan menang tanpa diadakan pemilihan (tanpa tanding).

Dalam suatu negeri (negara bagian), Menteri Besar (Gubernur) ditentukan oleh parlemen negeri, yang berasal dari anggota parlemen negeri itu sendiri. Suatu koalisi dalam parlemen negeri bila memenangkan mayoritas, langsung dilantik menjadi Menteri Besar, bahkan tanpa lagi dilakukan pemilihan dalam parlemen negeri. Demikian juga pengisian Perdana Menteri, langsung diisi oleh Ketua Partai yang memenangkan pilihan raya, atau Ketua Partai yang memimpin sebuah koalisi. Tidak perlu  diadakan pemilihan dalam persidangan parlemen. Dalam hal tertentu, Raja (Sultan) bilamana tidak jelas siapa yang berhasil mengumpulkan mayoritas, melakukan sesi khusus untuk  menanyai langsung ketua-ketua partai di parlemen tentang yang layak didukung sebagai  Perdana Menteri. Dari hasil sesi ini, Raja Yang Dipertuan Agung punya wewenang untuk menunjuk seseorang menjadi Perdana Menteri.

Karena itulah, terlihat bahwa hasil pemilihan umum parlemen, diketahui hasilnya pada hari pencoblosan, malam hari, dan pada malam hari itupun bisa ditentukan siapa yang akan jadi Perdana Menteri. Bayangkan pada hari pencoblosan, telah  dapat ditentukan siapa yang teripilih dari distrik masing-masing. Sekaligus malam itu juga dapat ditentukan siapa akan jadi Perdana Menteri.

Tentu saja, uraian tentang praktek pemilihan umum dan pengisian jabatan Perdana Menteri atau Menteri Besar di Malaysia itu, tak akan terjadi di Indonesia  walaupun KDH di pilih oleh DPRD. Mengapa ? Karena Indonesia menganut sistem pemilihan umum yang proporsional terbatas, yang menjadikan hasil pemilihan umum tidak bisa diketahui pada hari pencoblosan, bahkan memerlukan waktu sekitar satu bulan. Belum lagi tersedia mekanisme sengketa hasil pemilihan umum yang diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Ini semua memerlukan waktu yang panjang.

Penutup. Kajian tentang perobahan sistem pemilihan kepala daerah perlu terus dikaji sebelum pembentuk UU melakukan revisi atasnya. Namun demikian, penulis lebih cenderung untuk berpendapat bahwa perubahan itu perlu dilakukan menjadi pemilihan KDH oleh DPRD. Disamping alasan yang telah dikemukakan oleh Presiden Prabowo Subianto, ditambah alasan yang telah disampaikan oleh Gamawan Fauzi,  juga alasan-alasan yang telah penulis tulis dalam tabel tentang kelebihan pilkada tak langsung itu. Kalau masa Orde Baru, pemilihan oleh DPRD adalah semacam sandiwara belaka yang mencerminkan kehendak rezim yang berkuasa, masa kini tentunya akan berbeda dengan  mematangkan kembali peran partai politik sebagai lembaga pencipta pemimpin.

 

Penulis adalah dosen pada Program Magister Ilmu Hukum PPS UIR dan Fakultas Hukum UIR, Anggota Divisi Kerjasama antar Lembaga APHTN Pusat.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan