Menggugat Kewenangan DPR Merecall Hakim MK: Catatan Husnu Abadi

125

Perbincangan tentang perubahan atas Tata Tertib DPRRI No. 1 Tahun 2020 yang memperluas atau menambah kewenangan DPRRI untuk mengevaluasi dan merecall pejabat negara yang memperoleh persetujuan atau yang diusulkan melalui DPRRI, memperoleh tentangan dari berbagai pihak. Adapun yang menjadi masalah adalah Pasal 228 A yang merupakan pasal tambahan. Bunyinya adalah sebagai berikut: Dalam rangka menjaga marwah dan kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Adapun rekomendasi penunjukan pejabat, selama ini diatur dalam Pasal 226 ayat (20 Tatib DPR. Sejumlah instansi atau lembaga yang penunjukan pejabatnya melalui mekanisme DPR seperti hakim MK, hakim MA, komisioner KPK, Kapolri, Panglima TNI, duta besar, Komisi Yudisial, Anggota BPK.

Tanggapan. Sejumlah tanggapan telah diberikan oleh banyak pihak. Beberapa diantaranya dikutip sebagai berikut. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyatakan bahwa penambahan kewenangan DPR dalam Tatib itu merupakan intervensi keliru atas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Memang tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frasa pada Pasal 228 A ayat (2) menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat, tentu bisa berujung pada pencopotan jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seeorang pejabat penyelenggara negara. Substansi norma Pasal 228 A yang ditambahkan dalam Tatib DPR itu keliru secara formil. Peraturan internal sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan dan/atau mengatur pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Sedangka secara substantif norma itu dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yakni kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Frasa menurut UUD ini ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan indpendensi lembaga-lembaga yang diatur UUD, memastikan kontrol dan keseimbangan antar masing-masing cabang kekuasaan, dan tidak boleh ada pengaturan lain yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan UUD maupun UU lainnya. Norma Pasal 228 a itu juga melampaui puluhan UU sektoral lain, yang justru memberikan jaminan independensi pada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial. DPR telah gagal memahami frasa pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20 A (1) UUD 1945. Fungsi pengawasan DPR adalah mengawsi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang. Artinya yang diawasi DPR adalah pelaksanaan UU bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingaan berlapis. Dalam sistem persidensial jika pun DPR diberi kewenangan menyetujui pencalonan, memilih atau menetapkan pimpinan lembaga, semata-mata ditujukan untuk memastikan adanya kontrol dan keseimbangan antar lembaga negara dan memastikan pembatasan bagi presiden agar tidak secara bebas memutuskan. Supremasi parlemen yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana Pasal 1(2) UUD tidak boleh dibiarkan. (CNN Indonesia, Kamis, 6 Februari 2024, 13.32)

Dosen Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai DPRRI keliru bila hendak mengevaluasi pimpinan KPK hingga Mahkamah Kosntistusi lewat perubahan Tatib DPR. Kalau kemudian yang dimaksud evaluasi itu batasannya sampai paada proses pencopotan, berarti ada semacam pengambilan keputusan atau jumping conclusion yang keliru dari anggta DPR (CNN Indonesia, 4 Febraurai)jam 18.22. Tatib DPT tidak bisa menegasikan keberadaan UU . Kalau misalnya konteknya adalah pimpinan KPK atau hakim MK yang diusulkan DPR yang sudah ditetapkan oleh Keppres, kan tidak mungkin kewenangan untuk mencopot berdasarkan hasilm evaluasi itu hanya berdasarkan Tatib. Bila kita bicara cara berpikir perundang-undangan yang benar dalam hierarkhi, seharusnya UU yang dijadikan sebagai dasar dan bukan Tatib.

Sementara itu Jimly Asshiddiqie, dalam komentarnya di sebuah grup WA menulis bahwa DPR tidak berhak mengatur lembaga lain. Tatib cukup mengatur masalah internal kecuali ada perintah UU. Tapi apapun bentuk peraturannya bisa saja dimohonkan Juducial Review ke MA ataupun MK sesuai dengan kewenangannya. Saya sarankan DPR untuk mereviai semua UU tentang rekruitmen jabatan-jabatan publik, yang sudah terlalu banyak menyita waktu dan tenaga. Akibatnya tugas utama DPR di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan terbengkalai dan kualitasnya terus turun, Sekarang ada 36 lembaga yang rekruitmennya melibatkan DPR. Jumlah pejabat 1.787 orang, sudah terlalu banyak. Sebaiknya dipangkas, tinggal yang eksplisit disebut dalam UUD saja, Tapi semua lembaga dimaksudkan independen dari kekuasaan presiden yang serba berkuasa. Tapi dalam praktek jangan sebaliknya menjadi tidak independen dari DPR. Apalagi DPR mau memperluas kewenangan recalling . Ini dampak kerusakannya berat. DPR sudah melampaui kewenangannya. Harus dicegah atau dibatalkan melalui JR.

Firman Soebagyo, Anggota Baleg, justru mempertanyakan kewenangan DPR yang bisa mengevaluasi pejabat dan berujung rekomendasi pemberhentian. Kewenangan itu bertentangan dengan UU. Setiap kementerian dan lembaga memiliki kewenangan internal untuk memberhentikan dan mengangkat pejabat, misalnya dengan alasan meninggal dunia, berhalangan tetap, hingga mengundurkan diri. Tatib DPR bersifat internal, berlakunya hanya di lingkungan internal untuk para anggota dewan. Tatib itu peraturan internal, dan bukan peraturan undang-undang, tapi di bawah undang-undang.

Feri Amsari, pakar hukum dari Universitas Andalas, mengeritik Tatib DPR itu. DPR tidak berhak mengevaluasi atau bahkan merekomendasi pejabat negara di institusi lain. Kita bisa berdebat soal tafsir konstitusi dalam berbagai pasal-pasal peraturan yang kita buat. Tetapi sesuatu yang bodoh semacam ini tidak ditempuh dalam jalur yang sudah diatur UU. Tatib itu dianggap batal dan tidak pernah ada. Kalau tidak ya bertatanegara akan semwraut selalu. ( CNN Indonesia, Kamis 6 Februari 2025, 17.35.) .

Kewenangan Peraturan DPR. Bila dirujuk tentang jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, seperti yang telah diubah oleh UUNo. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun 2022, pada pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Yang menjadi persoalan adalah apakah ketika Tatib itu dirumuskan, adakah kewenangan untuk mengevaluasi pejabat dan memberikan rekomendasi pencopotan itu berasal dari undang-undang? Bukankah ketentuan tentang pencopotan atau pemberhentian seorang pejabat itu telah ditentukan tersendiri oleh undang-undang lainnya. Misalnya tentang pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi, diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003, dimana Pasal 23 berbunyi: Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan : (a) meninggal dunia; (b) mengundurkan diri atas permintaan sendiri; (c) telah berusia 70 tahun ; (d) dihapus, atau ; (e) sakit jasmani atau ruhani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan keterangan dokter.

Pasal 23 angka (2). Hakim konsitusi diberhentikan tidak dengan hormat, apabila: (a) dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; (b) melakukan perbuatan tercela; (c) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah (d) melanggar sumpah dan janji jabatan; (e) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f) melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; (g) tidak memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau (h) melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitsui ditetapkandengan keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Dengan mengambil contoh mekanisme pemberhentian HakimKonstitusi, maka tidak terdapat peluang yang diberikan oleh undang-undang untuk memberikan atau mendelegasikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan usulan rekomendasi pencopotan. Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa ruang lingkup tata tertib DPR bersifat internal belaka, kecuali memang diberikan kewenangan oleh undang-undang.

DPR boleh jadi berpandangan bahwa bila seseorang memperoleh jabatan itu melalui mekanisme DPR apakah itu pertimbangan, pemilihan, persetujuan, maka seolah-olah jabatan itu mewakili DPR dan karenanya DPR berwenang untuk mengevaluasi sang pejabat dan lebih jauh lagi berwenang untuk mencopotnya. Penafsiran DPR itu persis mengikuti mekanisme kewenangan sebuah partai politik melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota DPR dari fraksinya. Padahal hal itu sangat berbeda. Semua jabatan yang melalui mekanisme di DPR adalah jabatan yang diusulkan oleh lembaga lainnya, seperti Presiden, Komisi Yudisial. Khusus untuk hakim konstitusi, DPR melakukan fit and proter test bagi mereka yang berkompetent dan berminat untuk menjadi hakim konstitusi secara terbuka. Namun posisi hakim konstitusi dimaksud tetaplah bukan mewakili lembaga DPR.

Boleh jadi Perubahan Tata Tertib di atas punya akar historis yang ingin diteruskan kembali. Dalam kasus pergantian hakim konstitusi Aswanto dengan M. Guntur Hamzah, pada Tahun 2022. Ketika itu DPR memutuskan untuk melakukan pergantian antar waktu atas hakim Aswanto dengan mengusulkan M. Guntus Hamzah. Kebetulan Presiden Joko Widodo mengikuti kehendak DPR dengan menerbitkan Surat Keputusan Presiden No. 114/P/2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi. Pelantikan M. Guntus Hamzah dilakukan di Istana Kepresidenan , pada 23 November 2022.

Atas kasus pergantian hakim konstitusi yang melanggar UU Mahkamah Konstitusi, Feri Amsari, pakar Hukum dari Unand, menyatakan bahwa pergantian itu dinilai sebagai bentuk evaluasi atas hakim konstitusi di tengah jalan. Alasan DPR dinyatakan lantaran sikap Aswanto bertentangan dengan kepentingan DPR dalam produk legislasi yang dibuatnya melalui putusannya, tidaklah dapat dibenarkan. Sebab, mahkota seorang hakim terletak pada putusannya. Dalam Pasal 24 UUD 1945 secara tegas menyebutkan kata “mertdeka” . Karenanya hakim dalam membuat putusannya atas perkara yang ditangani dilakukan secara bebas tanpa adanya tekanan dan intervensi dari pihak manapun, termasuk cabang kekuasaan lainnya, seperti legislatif atau eksekutif.

MK oleh DPR dianggap sebagai perusahaan, hakim-hakimnya sebagai direksi, dan DPR sebagai pemegang saham. Ini sesat dan menyesatkan cara berpikir DPR. Pendekatan yang dilakukan DPR melalui evaluasi hakim konstitusi menggunakan mekanisme patuh atau tidak patuh, suka dan tidak suka pada politik DPR. Apalagi peran Aswanto dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cukup dominan.

Terlepas dari itu proses pergantian hakim konstitusi Aswanto jauh dari prosedur yang berlaku. Proses seleksi tersebut di luar kelaziman yang biasa dilakukaan di DPR. Seharusnya adanya surat yang menyatakan habisnya masa jabatan hakim MK kepada presiden. Presiden pun mengirim surat ke DPR untuk membuka pengumuman pendaftaran secara terbuka untuk dilakukan seleksi. Adanya pendaftaran dilanjutkan dengan fit and proper test. Prroses ini tidak terjadi, tidak ada pengumuman pendaftaran, ini calon tunggal yang langsung disahkan, sesuatu yang tidak lazim, serta penuh akal-akalan. Kenapa satu orang langsung diresmikan ? Kenapa tidak ada wawancara? Kenapa tidak ada ruang untuk mendengar masukan publik terhadap calon yang diseleksi. Ini penuh rekayasa dan jauh dari nilai-bilai konstitusi (hukumonline.com 23 November 2022).

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang menyatakan bahwa DPR secara serampangan memberhentikan hakim Aswanto di tengah jalan . Proseudr dan mekanisme permberhentian dan pengangkatan tidak sesuai dengan prosedur. Celakanya niat buruk DPR mengintervensi MK dibenarkan dan diikuti oleh Presiden Joko Widodo dengan melantik Guntur Hamzah. Pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi adalah inkonstitusional. Sebab tak ada`satupun ketentuan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan hakim konstitusi. Tak hanya itu pemberhentian di tengah jalan tidak dibenarkan tanpa ada pemenuhan syarat-syarat yang diatur dan dijelaskan dalam UU No. 7 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Maka semakin jelas bahwa DPR dan Presiden sengaja bersekongkol untuk melupakan aturan-aturan tersebut untuk memuluskan niat jahat mengintervensi MK. Secara kelembagaan, seharusnya MK dapat bersikap tegas untuk menentang keputusan serampangan yang dilakukan DPR dan Presiden. Mengingat nilai konstitusi serta masa depan KK sebagai lembaga negara sedang dipetaruhkan disini menjadi amat dibutuhkan progresivitas MK dalam menjalankan perannya sebagai guardian of the constitution.

Dalam sebuah webinar Jumat, 7 Februari 2025, baik Idul Rishan (PSHK UII) maupun Tinton Slamet Kurnia (PSHTK UKSW) sepakat bahwa Tatib DPR itu tidak berwenang untuk mengatur masalah evaluasi dan rekomendasi pencopotan atas jabatan-jabatan publik yang melalui mekanisme di DPR, karena mereka semuanya bukan duduk untuk mewakili DPR. Mekanisme untuk menggugurkan Tatib itu dapat dilakukan dengan menggalang masyarakat sipil dalam penentangan Tatib dimaksud. Lebih-lebih bilamana jalan yang ditempuh oleh Tatib ini, membuka jalan terciptanya main mata antara DPR dengan Presiden, seperti yang tercermin dalam kasus pergantian Hakim Aswanto.. Jalan lainnya adalah melakukan Judicial Review atas Peraturan Tatib itu ke Mahkamah Agung sebagaimana digagas oleh Jimly Asshiddiqie. Hal ini berkenaan kedudukan Peraturan tata Tetrib DPR adalah berada di bawah undang-undang dan diakui sebagai peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011. Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah undangt-undang.

Penutup. Penambahan kewenangan DPR yang dirumuskan dalam Tatib DPR adalah tidak punya dasar hukum dan sama sekali tidak ada delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-undang). Oleh karena itu, adanya kewenangan baru itu, melampaui kewenangan yang ada. Secara substantif isi tatib DPR itu menafikan dan bertabrakan dengan keberadaan UU yang ada, yang mengatur prosedur pemberhentian pejabat publik dimaksud. Diharapkan agar semua lembaga negara terutama presiden untuk kembali mentaati konstitusi dan menghindari keputusan-keputusan penting yang tidak sesuai dengan konstitusi. Penentangan atas Tatib DPR dimaksud perlu terus dikumandangkan sehingga mampu mendesak DPR untuk kembali pada fungsinya yang pokok yaitu pengawasan, anggaran dan legislasi.

Penulis adalah Dosen Hukum Konstitusi UIR, anggota Dep. Kerjasama & Hub. Antar Lembaga PP APHTN

 

 

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

1 Komentar
  1. Imam Ropii mengatakan

    Mantaaab Prof. Husnu Abadi…pemikiran yg sangat cemerlang dan substantif…
    Sslam sehat.