

Sebuah Catatan tentang Antologi Puisi Munajat Untuk Bangsa Indonesia karya Darmawan T. Indrajaya
Kalimat yang saya kutip di atas adalah kalimat yang diucapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, novelis Indonesia termasyhur. Paling tidak, kata-kata itu, juga mengingatkan saya pada petuah Imam Syafii yang berkata: kalau engkau bukan anak seorang khalifah, dan juga bukan anak seorang Sultan, maka menulislah …. Ada juga sebuah kata-kata mutiara dalam bahasa Latin yang berbunyi: Verba Volant, Scripta Manent. Maknanya menyatakan bahwa kata-kata yang diucapkan akan terbang. Hilang sirna menuju keabadian. Sedangkan tulisan akan tetap tinggal, terekam bersama waktu.
Seorang Adhie M. Massardi pada Tahun 2020, menerbitkan antologi puisi berjudul Pengantar Pergantian Kekuasaan, 221 halaman, Penerbit Booknesia. Puisi-puisi yang ditulis itu semuanya merupakan catatan penulis atas setiap kejadian politik yang pernah dialaminya. Adhie Massardi pernah dilingkaran kekuasaan ketika Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya pada Tahun 1999 sebagai salah seorang juru bicara kepresidenan. Jabatan itu tak lama diembannya, karena begitu Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2001, demikian pula nasib yang menimpa Adhie Massardi. Namun pengalamannya yang padat itu kemudian mengekalkannya untuk terus menerus berada di dunia kepenulisan.
Buku puisinya ini merekam sejumlah peristiwa politik dan kebangsaan, seperti ketika Gus Dur Wafat (Tafakur Bagi Gus Dur), peringatan 1 Juni 2012 Hari Pancasila (Balada Garuda Tua), peristiwa protes atas disahkannya UU Omnibus Law (Berhentilah Memborgol teman-teman saya), peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021 dan acara deklarasi Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (Syair Zaman Sinting), peristiwa pelemahan KPK dengan upaya kriminilasi ketua KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto (puisi Negeri para Bedebah), peristiwa perlawanan terhadap kebohongan yang dilakukan Presiden Yudhoyono (Republik Kebohongan). Untuk puisi terakhir ini, mari kita baca secara seksama, nada bahasa serta gaya yang dikemukakan oleh Adhie.
Inilah Republik Kebohongan/Dibangun dari puing kepura-puraan/ menjadi surga bagi para penjarah/karena penguasanya juga bedebah/
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah/ itulah mereka/ yang kalau berkata isinya dusta/kalau berikrar mereka ingkar/diberi amanat mereka khianat/
Di Republik kebohongan/hukum hanyalah alat kekuasaan/ bagi mereka sendiri penjara hanya kata basi/tak ada tembok apalagi terali besi/
Maka bila bedebah rendahan jatuh sial/tak akan sungguh-sungguh masuk sel/mereka masih bisa menjangkau semua pulau/ atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para pengamat sastra saya kira boleh membicarakan puisi Adhie di atas dan kemudian membandingkannya dengan gaya bahasa yang digunakan oleh WS Rendra seperti yang dimuat dalam buku puisi Pembangunan dalam Puisi, diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan. Menurut saya walaupun keduanya sama-sama melakukan kritik sosial dan kritik pada kekuasaan, namun gaya bahasa Rendra masih lebih banyak dalam menggunakan bahasa kiasan atau metafora dibandingkan dengan gaya yang digunakan Adhie. Coba disimak puisi WS`Rendra yang berjudul Sajak Tangan. Puisi memperlihatkan kritik penyairnya pada kekuasaan yang tak peduli pada nasib nelayan, buruh, petani dan sangat peduli pada cukong pengusaha kaya dan besar. Kepada merekalah kekuasaan mengabdi,
Inilah tangan seorang mahasiswa/tingkat sarjana muda/ Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai/ yang terpegang onderok hostess berumbai/Aku bego. Tanganku lunglai/
Tanganku mengetuk pintu/tak ada jawaban/ aku tendang pintu/pintu terbuka/ di balik pintu ada pintu/dan selalu/ ada tulisan jam bicara/yang singkat batasnya/
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana/ dan aku keluar mengembara/ aku ditelan Indonesia Raya/
Tangan di dalam kehidupan/muncul di depanku/tanganku aku sodorkan/nampak asing di antara tangan beribu/aku bimbang akan masa depanku/
Tangan petani yang berlumpur/tangan nelayan yang bergaram/aku jabat dalam tanganku/tangan mereka penuh pergulatan/ tangan-tangan yang menghasilkan/tanganku yang gamang/tidak memecahkan persoalan/
Tangan cukong/tangan pejabat/gemuk, luwes dan sangat kuat/ tanganku yang gamang dicurigai/ disikat/
Tanganku mengepal/ketika terbuka menjadi cakar/aku meraih ke arah delapan penjuru/di setiap meja kantor/bercokol tentara atau orang tua/
di desa-desa / para petani hanya buruh tuan tanah/di pantai-pantai /para nelayan tidak punya kapal/ perdagangan berjalan tanpa swadaya/politik hanya mengabdi pada cuaca/ tanganku mengepal/ tetapi tembok batu di depanku/hidupku tanpa masa depan/
Memang penyair itu tak kan lepas dengan situasi politik ekonomi dan budaya masyarakatnya. Ada saja yang menjadi bahan kritik bila penyair melihat gejala yang aneh atau janggal di tengah-tengah masyarakatnya. Taufiq Ismail, misalnya. Penyair kelahiran 25 Juni 1935 di Bukittinggi ini, walaupun ia bisa saja menulis tentang awan, bunga, sungai, gadis Eropa, namun yang dominan tema yang ia tulis adalah nada dan gaya bahasa yang digunakan yang semakin lama semakin terang benderang. Sama dengan Rendra, Taufiq Ismail masih tetap menggunakan metafora tertentu dalam membawa pembaca puisinya untuk mengembara dalam khayalan yang ditulis oleh penyairnya. Saya ingin menyinggung puisi Malu Aku jadi Orang Indonesia.
Puisi ini menuliskan keadaan Indonesia, dunia hukum dunia hakim, dunia polisi, dunia suap, bejatnya pejabat, wajib menyerahkan komisi setiap transaksi, korupsi dan lain-lain sehingga penyairnya merasa malu menjadi orang Indonesia, apalagi ketika sang penyair bertemu dengan orang asing dalam sebuah pertemuan antara bangsa. Coba kita simak beberapa bait puisinya.
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi/
Di negeriku selingkuh biokrasi peringkatnya di dunia normor satu/ sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingannya/
Di negeriku, komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu, dan peuyeum dipotong birokrasi lebih dari separuh masuk kantong jas safari/
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ hukum tak tegak, doyong berderak-derak/ berjalan aku di Roxas Boeluevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza/ Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia/ di sela khalayak daku berlindung di belakang hitam kacamata/ dan kubenamkan topi baret di kepala/
Malu aku jadi orang Indonesia
Itulah penyair Taufiq Ismail yang menjadi malu untuk mengakui sebagai orang Indonesia, malu kalau-kalau dilihat oleh kawan-kawannya di negeri seberang sana. Mengapa negeri Indonesia yang kaya raya alam nya, menjadi rusak begini ? Salah siapa ? Pemimpinnya ? atau kita semua. Puisi ini, seringkali dibacakan di pertemuan-pertemuan publik, apalagi setelah era reformasi dimulai. Keadaan belum berubah, bahkan semakin menjadi-jadi. Salah urus plus mega korupsi merajalela. Kekuasaan asing akhirnya dapat menjinakkan para pemimpin negeri ini, agar selalu patuh pada kehendak penjajah asing yang masuk melalui pintu investasi dan tentu saja pintu perizinan. Namun puisi ini, puisi yang bertemakan MALU ini agaknya memperoleh saingan baru, sehingga puisi yang lebih baru ini, banyak yang mengira masih ditulis oleh Taufiq ismail. Saya pernah mendapati dan menyaksikan sebuah video pembacaan puisi yang manarasikan bahwa puisi baru ini, ditulis oleh Taufiq Ismail.
Puisi baru ini, memang judulnya mirip dengan puisi Taufiq Ismail diatas, yang mempergunakan kata-kata MALU. Dominan dalam menggunakan makna MALU menjadikan beberapa pencinta puisi sering kali keliru menisbahkan siapa penulis puisi ini. Kebetulan penulis puisi yang terbaru ini, belum banyak dikenal dalam dunia perpuisian. Boleh jadi juga tema-tema puisinya memang menyiratkan perlawanannya pada segala hal yang dianggapnya perbuatan yang zalim, kemunduran, keserakahan, kesesatan, ketidak becusan dalam memimpin negara, kedunguan berfikir, mental jongos dan mental budak. Penulis puisi itu adalah Ahmad Sastra, seorang dosen bergelar Doktor (S3) yang kini berkhidmat di Universitas Ibnu Khaldun (UNIKA) Bogor. Lahir tanggal 8 Maret 1976, di kaki gunung Merbabu, Jawa Tengah. Pada Januari Tahun 2020 ia menerbitkan antologi puisinya yang berjudl Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita. Buku ini memuat 42 puisi dan mempunyai 147 halaman. Melihat judul-judul puisinya, bolehlah seseorang teringat akan slogan-slogan perjuangan dalam sebuah pergerakan anak muda atau pergerakan dalam melakukan perlawanan atas musuh yang sudah berada di depan mata.
Misalnya saja judul-judul seperti: Di Negeriku Penjajah Seperti Raja, Negeriku Rapuh Negeriku Lumpuh, Jangan Teriak Pancasila Sudah Muak Kita, Indonesia Tak Sebatas Konde, Indonesia Mati Oleh Demokrasi, Sebab Demokrasi Bukan Islam, Derita Rohingya Bukti Kebusukan Demokrasi, Nestapa Muslim Uyghur, Tauhid Harga Mati, Pejuang Tidak nangis, Amazing Akhirnya Bicara Khilafah, Ghirah 212 Istiqamah Bela Islam.
Sekarang mari kita kutip sedikit beberapa bait dari puisi Jangan Teriak Merdeka Malu Kita, lalu coba bandingkan dengan Puisi Taufiq Ismail seperti yang saya kutip di atas. Rasakan perbedaan nuansanya, rasakan beda pemilihan kata-katanya, walau keduanya sama-sama memikat.
Negeri ini masih dicekik ribuan triliun hutang berbunga haram/ jika negeri ini telah mampu melunasi hutang itu/ silahkan teriak merdeka/ jika belum mampu, lebih baik diam dan berfikir/ MALU KITA
Negeri khatulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa/ namun dikelola dan dimiliki negara lain/membiarkan sumber daya alam milik rakyat dirampok penjajah/ rakyat hampir tidak pernah bisa menikmatinya/ jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara/ jika penjajah asing dan aseng belum diusir dari negeri ini/ jangan teriak merdeka !/ lebih baik diam dan berfikir/ MALU KITA
Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas/terasa berat untuk hidup layak/bahkan harga-harga terus merangkak naik/ditambah pajak yang kian mencekik/ jika masih meluas kemiskinan dan ketidakadilan/jangan teriak merdeka!/ lebih baik diam dan berfikir/ MALU KITA
Saya cukupkan 3 bait saja puisi Ahmad Sastra di atas, dari 9 bait yang ada. Puisi ini cukup popupler, lebih-lebih ketika bulan Juli dan Agustus, bulan-bulan dimana perayaan kemerdekaan negeri ini dipestakan secara meriah, bulan-bulan dimana pekik MERDEKA terdengar dimana-mana. Ahmad Sastra seolah-olah mencibir pada kita semua, seolah-olah Ia berkata ….. apa tak salah, kau ucapkan kata Merdeka, padahal kau semua dijajah, dimiskinkan, dipinggirkan, dihinakan, oleh pemimpinmu sendiri, yang bersedia sujud dihadapan investor dan pengusaha asing. Kalau dibedakan dengan Taufiq Ismail, Ahmad Sastra dalam puisi ini terasa lebih menusuk dan terus terang, dengan sama sekali tidak mempergunakan kiasan sedikitpun. Beda dengan puisi Taufiq Ismail yang masih mempergunakan kiasan (simbol). Tapi kalau anda membaca puisi Taufiq Ismail terkini, kesan kita tentu saja berubah drastis, karena kemuakan Taufiq sangatlah terang benderang.
Di Riau, para penyairnya menulis puisi, seperti penyair Indonesia lainnya. Ada yang menulis bertema kehidupan, bunga, mainan anak-anak, sungai, kekasih, ibu dan lain sebagainya. Namun tema-tema kemasyarakatan pun makin lama semakin terlihat. Puisi Ediruslan Pe Amanriza adalah salah satunya. Puisi berjudul Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya, Jakarta. Menurut saya puisi ini dapat dianggap sebagai puncak kejengkelan sang penyair pada negerinya sendiri, pada pemerintahnya sendiri, sebagaimana Taufiq dan Ahmad`Sastra menumpahkan MALU dalam puisinya.
Akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta/dari negeri kami yang jauh/ kau terlihat semakin angkuh/ tak tersentuh/ setelah 55 tahun bersama/ nyatanya/ tak seharipun kami merasa bahagia/ hidup sepanjang tahun/ asyik dirundung duka nestapa/
Akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta/ karena sejak hari ini/kami tak lagi percaya/ pada janji-janji yang penuh dusta/
Akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta/bila kau tak bertimbang rasa/ atas ribuan jenis kayu/ yang ranap kau tebang/ dari hutan belantara kami yang rindang/ dan meninggalkan lingkungan yang lintang pukang
Akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
Ediruslan Pe Amanriza, penyair kelahiran Bagansiapi-api, tahun 1947, sempat menjadi Ketua DKR, anggota DPRD Riau, dan wafat pada Tahun 2002.
Dalam sepuluh tahun terakhir, seorang pensyarah dari UIN Suska Pekanbaru, Alaiddin Koto menjelang usianya yang ke 70, bergiat menulis puisi. Katanya, ia ingin mencurahkan perasaan dan gagasan, yang tidak lagi melalui paper dan penelitian akademis, tetapi lewat kalimat-kalimat pendek dan bermakna, berisikan gagasan dan juga nasehat atau pandangan hatinya. Agaknya, Ia terpengaruh dari penyair Pakistan, Muhammad Iqbal, yang menyampaikan pandangannya dalam bentuk puisi, dengan narasi yang cukup panjang. Contohnya puisi Syikwa dan Jawabi Syikwa (Keluhan dan Jawaban atas Keluhan). Pengaruh gaya bahasa dan misinya, pun kurang lebih bermiripan. Alaiddin koto telah membukukan puisi-puisinya dan diedarkan secara terbatas, dalam 5 buku antologi puisi. Antara lain: Cintaku Dalam Imanku (2021), Damailah Indonesia (2022).
Dihadapan anda, kini terlihat buku kumpulan puisi dari pensyarah UIN Suska juga, yang tentu saja lebih yunior dari Ustaz Alaiddin Koto. Hampir setiap hari ia menulis puisi dengan tema yang amat beragam. Gaya bahasa yang dipilihnya adalah mempunyai kemiripan dengan gaya bahasa Alaiddin Koto. Narasi yang digunakan cukup panjang, artinya agak sulit kita menemukan puisi-puisinya yang hemat baris, misalnya yang hanya terdiri atas 10 baris saja. Kecendrungan meniru gaya ustaz bila berkhutbah, tak bisa juga dielakkan, penuh nasehat, anjuran, sugesti, ataupun keharusan. Antologi puisi ini, direncanakan berjudul Munajat untuk Bangsa Indonesia, yang judul-judul puisinya sangat variatif, antara lain : Entahlah, Aku Takut, Maumu Apa, Kita Sama Bersabar, Duhai Gerangan Apa, Siapa Peduli, Senat-Senut, Merah Putih Masih Berkibar, Kita Ada Dimana, Suatu Hari Nanti, Euforia Pemilihan Raya.
Berikut beberapa kutipan sejumlah puisinya.
KITA SAMA BERSABAR
Gedung-gedung di tempat ku bekerja/disulap jadi bukit perkebunan teh/anak-anak muda berdatangan berbekal harapan dan doa/adalah dedaunan yang siap dipetik pada masanya/diracik dengan sentuhan akademik/dikemas untuk memenuhi keinginan zamannya/
Sementara/buruh perkebunan yang menguji kualitas daun teh/hanya berharap belas kasih mereka/meminta sepotong roti, sebotol air putih, berarti terjerat riba/haram dan melanggar etika/janji dibayar jika melebihi volume beban kerja/dengan hitungan matematika berbeda/ berbanding terbalik dengan strata maqamnya dimana berada/
Pagi bergegas, pulang bersama senja/suka tidak suka/jika masih butuh kerja/lakukan saja/ melawan adalah tindakan konyol/atas dasar titah bernomor seri delapan nol nol/
MAU MU APA
Mau mu apa/kau perintahkan semua orang patuhi etika/menjaga lisan dan kelakuan/ aku bicara berdasarkan fakta dan data kau bilang aku mengada-ada/ aku berusaha bersikap idealis katanya sok moralis/aku dituntut menghargai nilai-nilai demokrasi/ tapi kebebasan berekspresi dicurigai barisan sakit hati/ tukang protes ditandai/menunutut hak dianggap tak tahu diri/tak satu pikiran diklaim sebagai oposisi/sikap kritis dicap menghambat wujudkan visi/konflik internal jadi alasan pencapaian institusi tak maksimal/siapa tak terima dipersilahkan mengadu/
Maumu apa/atau aku harus berbuat apa
BURUH DI NEGERIKU
Buruh di negeriku/adalah mayoritas kita/yang bermimpi merdeka/dari rasa`lapar/kredit tumah terbayar/pakaian setiap tahunnya bertukar/anak-anak mendapatkan hak belajar/dalam kesederhanaan masih dapat tersenyum berkelakar/
Apakah mimpi itu berlebihan/bukan tas branded yang mereka kejar/cukup tas untuk belanja ke pasar/bukan hunian mewah hasil gratifikasi/hanya ruah kecil layak huni/apakah kaum buruh tak layak menggapai mimpi-mimpi/
Dari kutipan tiga puisi di atas, tentu saja dengan bahasa yang sederhana dan logika yang dibangun oleh Darmawan, boleh jadi pembaca akan membandingkan dengan puisi-puisi yang ditulis Alaiddin Koto, Taufiq Ismail, Ahmad Sastra atau lainnya. Tentu sebagai penulis puisi yang datang belakangan akan memahami posisinya yang masih pendatang baru. Perlu terus menggali dan membaca karya-karya seniornya. Termasuk juga penulis puisi yang ada di Riau ini. Seorang penyair dan cerpenis Riau yang pernah menerima penghargaan SATUPENA 2022, Fakhrunnas MA Jabbar pernah mengatakan bahwa menulis puisi tidaklah sekaligus menjadikan seseorang itu menjadi matang. Pengalaman membaca dan bahkan bergaul itu penting, dan jangan menyendiri. Bergaul itu bisa dengan cara mengikuti pertemuan seniman, tetapi juga dengan bergaul dengan buku-buku. Buku apa saja. Membaca buku puisi penyair besar itu penting, dan sangat perlu. Kalau tak pernah membaca puisi para senior, maka keadaan itu ibarat katak di dalam tempurung. Namun bila selalu membaca karya penyair besar, maka mimpi-mimpi untuk menjadi matang sebagai seorang penulis itu bisa dilalui dengan setahap demi setahap.
Membaca puisi-puisi Darmawan itu penting namun yang lebih penting adalah bila Darmawan membaca puisi penyair besar lainnya.
Pekanbaru, 1 Desember 2024
Husnu Abadi, sebagai salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia ( di Pekanbaru 22 November 2012), yang menyatakan HPI adalah 26 Juli. Pada Tahun 2015, ia terpilih sebagai penerima Penghargaan Yayasan Sagang untuk kategori Seniman/Budayawan Pilihan Sagang. Lautan Rempang (2024) merupakan kumpulan puisi tunggalnya yang kelima setelah Lautan Taj Mahal (2022) Lautan Zikir (UIR Press 2004), Lautan Kabut ( UIR Press, 1998) dan Lautan Melaka (UIR Press, 2002). Kumpulan puisi bersama Fakhrunnas MA Jabbar adalah Di Bawah Matahari, 1981 dan Matahari Malam Matahari Siang, 1982 dan buku esei sastra Ketika Riau, Aku Tak Mungkin Melupakanmu (UIR Press, 2004). Mengikuti pertemuan seniman dan kebudayaan antara lain di Melaka (2002), Selangor (2004), Johor (2004), Terengganu (2007), Brunei Darussalam (Juli 2010), Tanjungpinang (Oktober 2010), Singapore (Mei 2011), Samarinda (Juli 2011), Pattani (Pertemuan Penyair Nusantara, November 2015), Singapore ( 30/31 Januari 2016), Kinabalu Sabah ( Mahrajan Kesusasteraan dan Kesenian Islam, 20-21 Mei 2016). Dilahirkan di Majenang, 1950, pindah ke Solo (1951), Singaraja (1952), Mataram (1956), Purwokerto (1965), Denpasar (1968), Pekanbaru (1975). Alamat: Jln. Kelapa Gading 20, Kel. Tangkerang Labuai, Pekanbaru-Riau. (E-mail : mhdhusnu@yahoo.com dan HP 0812 753 7054), Pekerjaan dosen Lektor Kepala (Associated Professor) pada FHUIR.