Jadayat : Senyap

83

SENYAP

Ihwal hening, sunyi atau pun senyap. Senyap itu mengundang hadir. Kehadiran datang, ketika senyap menghidang. Senyap itu sendiri memiliki kembaran bernama kosong; kesenyapan dan kekosongan. Tuhan hadir dalam senyap, kala senyap. Tuhan hadir, kala kosong, dalam kekosongan. Tuhan hadir dalam sejumlah pernyataan “negasi”. Di sini, Tuhan ‘bukan adalah’, tetapi sebaliknya Tuhan ‘adalah bukan’ (bukan ini, bukan itu). Dia tak diukur dalam kadar spekulatif manusia. Dia adalah Dia dalam tabiat zat Dia, bukan Dia menurut kita, tapi Dia menurut Dia. Bukan Tuhan yang diperkatakan manusia. Para pengelana menemukan Tuhan dalam senyap, dalam diam, dalam laku serba kosong dan kekosongan.

Malah, tradisi Cina memperkatakan lebih tegas lagi, bahwa Tuhan yang masih bisa dinamai, bukanlah Tuhan. Demikianlah tingginya Tuhan, sehingga dia tak memerlukan nama untuk diseru dan dipanggil. Ketika untuk mengingat-Nya, cukuplah diam, terpaku dan pegun. Tadisi mistik Kabbalah dalam Yahudi, lebih ekstrem lagi, sama sekali tak boleh menyebut nama Tuhan, karena terkesan mempermain dan memperdaya Tuhan. Nama YAHWEH , sebutan Yahudi untuk Tuhan (aslinya dari bahasa Arab Ya Huwa); sama sekali tak boleh disebut, karena demikian halusnya Tuhan, demikian hamidnya Tuhan, demikian hanifnya Tuhan, demikian maha tingginya Tuhan. Ketika nama ini dipindahkan dalam simbol fonetis (huruf), maka semua huruf vokal (hidup) harus ditiadakan, sehingga menuliskan nama Tuhan cukup dengan ‘YHWH, agar tak terdengar bunyi, desis yang bersumber dari huruf vokal itu (A dan E).

Tuhan menghadir di depan Muhammad suci, dalam kekosongan (tidak bisa membaca –ummi-, buta huruf). Di sini Tuhan, tidak didatangi dengan pengetahuan. Tak cukup pengetahuan untuk menyingkap Tuhan, maka satu-satu jalan menemu Tuhan adalah lewat “kedunguan” kita tentang Dia, melalui kekosongan kita tentang Dia. Demikianlah Ibrahim sang pembawa tauhid di awal-awal ‘shadu perdana kala’ (waktu). Dalam kedunguan dia mencari Tuhan; kala melihat bintang, maka dinisbahkan Tuhan itu adalah bintang. Kala bulan muncul, bintang dihapus dalam kesan Tuhan, dan bulan pula yang disangka Tuhan. Ketika siang merekah, bulan sirna,  terbitlah matahari, maka Ibrahim mengalamat matahari itu sebagai Tuhan. Dalam kedunguan dan kekosongan, Ibrahim mencandra Tuhan, dalam kekosongan Ibrahim ‘menemu’ Tuhan. Dalam senyaaap… Tak setakat diam. Musa, demikian pula; serba senyap, walau membakar… (wah novelty, serba wah).

Tulisan Terkait

Di sini berlaku kaidah tentang Tuhan; “Tuhan dikenal sebagai Dia yang tak dikenal” (quasi ignotus cognoscitur). Bahwa kita benar-benar takkan pernah mengetahui keberadaan-Nya, ujar Thomas Aquinas sang “Doctor Angelicus” (Doktor ‘ke-Malaikat-an’). Dia, wujud misteri nan menggetar (mysterium tremendum). Pun, ketika “menggetar” itulah, maka senyap dan diam lah jawabannya. Ada dua kaidah tentang senyap dalam kaitannya dengan “pengetahuan” tentang Tuhan. Pertama, ‘berkata tidak’ (saying-not) tentang Tuhan. Di sini berlaku, menidakkan Tuhan, dan bukan berarti setara dengan “meniadakan” Tuhan. Kedua, ‘tidak berkata’ (not-saying); kala ingin berbicara tentang Tuhan, kita harus diam, harus senyap, tak mengeluarkan kata-kata. Inilah ‘teologi senyap’ alias ‘teologi diam’ dalam memahami Dia yang tak dikenal (teologi apofatik). Berbicara tentang Tuhan berlaku dalam senyap, dalam diam. Saking tinggi dan mulianya Tuhan, kita kehabisan khazanah kata-kata, kehilangan kamar diksi, kepupusan dapur verba, kesirnaan selasar ucap; yang terhidang hanya diam, senyap dan selonsong kosong.

Dia adalah realitas “gaib” yang tak tersingkap oleh pandangan manusia. Tak tampak oleh indera, Tuhan adalah Tuhan itu sendiri (God as God as such), bukan Tuhan dalam andai-andaian. Beberapa teologi senyap ini, bertopang pada doktrin “creatio ex nihilo” (berawal dari kekosongan). Kosong bukan berarti tiada, kosong tetap ada. Saking “ada”nya, malah menjadi “kosong”, demikianlah “kedunguan” itu menjadi sandaran untuk memahami Tuhan. Kita menyandarkan “kebutaan nan tulus” sebagai jalan untuk memasuki Tuhan, bukan melalui “andaian nan pongah”.

Di satu sisi kita menyandang sebagai “makhluk pengandai-andai”; di sini Tuhan berada dalam andaian “adalah” (“Tuhan adalah…”). Maka, derivasi tindak laku manusia dalam menerjemah “adalah” itu sebagai “tidak tampak ada”, maka muncullah ‘ibadah’. Sebaliknya, tindak laku “tasawuf” bersandar pada “tampak tidak ada” berlangsung dalam model ‘pengabdian’.  Dzun Nun al-Mishri memberi penekanan khas tentang “pengabdian”. “Pengabdian ialah bahwa engkau harus menjadi hamba-Nya dalam segala hal, sebagaimana Dia menjadi Tuhan mu dalam segala hal”. Seorang sufi mengabdi, secara total dan tak meminta respon positif dari Tuhan. Sebaliknya, ‘ibadah’ mengharap kan sesuatu yang ‘positif’ dari Tuhan, apakah pahala atau ganjaran surga, bebas siksa kubur, termasuk keringanan mahkamah mahsyar.

Di sini, ketika manusia menerjemah Tuhan sebagai ‘adalah’, yang diikuti dengan serangkaian ibadah, maka ibadah sering terjebak dalam bingkai rutinitas, rigiditas, formalitas dan terkesan kaku (mungkin juga ‘bising’, ‘heboh’). Sebaliknya, laku ‘pengabdian’ yang menerjemah Tuhan ‘bukan adalah’ atau ‘adalah bukan’ (bukan ini, bukan itu); tindak ‘pengabdian’ itu tak mengacu pada bentuk formal, dia berlangsung dalam diam, dalam senyap, dalam pegun, dalam tegun, dalam kosong, dalam yang membebaskan, bukan dalam yang serba membelenggu.  Al Niffari menukil: “dan Dia berkata kepadaku; ‘Pengetahuan terbakar dalam makrifat, dan makrifat terbakar dalam ketertegunan’”. Tegun, pegun adalah “kedunguan nan pasrah”. Inilah teologi senyap, yang bersandar pada cinta total, bukan saja pada sejumlah bilangan tongkat hukum yang menghentak, godam nan menghempak.

Suatu kali, Nabi Muhammad selaku “penghayat” itu berujar “(Tuhan…,) tambahkanlah untuk ku kebingungan pada-Mu”, —Zidnifika tahayyuran–. Ooooh,… walau serba walau, sang ‘paripurna’ senantiasa jua menghidang “senyap dan kosong” untuk mencandra Realitas Misteri. Di sini, bukan “saying-not’, tetapi lebih mengarah ke ‘not-saying’-; sebuah pegun dan ketertegunan yang tak terpemanai. Itulah puncak senyap, pucuk diam…

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan