

Menyeberanglah! Merantaulah! Bumi akan menjadi riang. Tanah-tanah pun menjadi “hidup”. Bergeraklah menyapa tanah-tanah sepi, tanah-tanah tak berpenghuni. Kenapa? Di sini ternukil kisah serba menjinak, mendekatkan. Dan bumi pun riang gembira dalam orkestrasi tashbih. Antara liar dan jauh, ada sesuatu yang menjarak. Antara jinak dan dekat ada peristiwa menyadar dan menyentak. Ini fenomena peralihan aboriginasi ke domestikasi. Orang-orang yang melakukan perjalanan meninggalkan kampung halamannya adalah mereka yang tengah asyik, juga bergembira menunaikan “tugas atau tujuan penciptaannya”, dan kelak menjadi agung. Dengan berhijrah dan menapaki negeri-negeri jauh, kita akan bertambah mulia. Jangan berdiam dan berdamai dengan tanah kelahiran mu. Dia akan mengerdil dan meliarkan fikiran dalam dugaan-dugaan serba egois. Maka bergerak dan merantaulah.
Menyeberang atau merantau, tidak mesti menuju ke tanah-tanah jinak, ke tanah nan ramai. Bukan semata kota, bukan semata kampung yang berpenghuni manusia yang dituju. Maka para jauhari, para bestari, orang-orang suci dalam beragam agama, menjalani fase kelana ke tanah-tanah jauh, tanah tak berpenghuni, alias tanah-tanah liar. Mereka menuju lembah-lembah, mengitari lereng-lereng, menjilat kesepian pantai, tafakur di ujung tanjung, senyap di sebuah teluk sepi nan damai, memanjat puncak gunung, berdiam di kaki gunung, merenung dalam kelam dan kerimbunan rimba, bersatu dalam deru deram air terjun dan deras sungai yang mengalir, senyap-diam di pulau comel tengah samudera, bertapak di “busung pasir” timbul kala air pasang perbani. Menuju muara nan bergolak dan berjenis tanah-tanah liar yang terhampar di muka bumi.
Sedari kecil kita terkagum menyaksikan atau hanya mendengar kisah para pengelana yang bergerak dari lembah ke lembah, dari hutan ke hutan, dari tanjung ke tanjung. Mereka mencari? Belum tentu mencari. Mungkin saja mereka hanya ingin membangun “pertemanan” Tuhan, menyingkap satire-satire ketuhanan. Jenis ini, satire ketuhanan, telah dinampakkan dalam kisah Musa kecil ketika dihanyutkan oleh sang Bunda dalam sebuah keranjang, untuk menghempas kebimbangan tentang pembunuhan anak lelaki yang lahir di zaman itu oleh Firaun. Masih banyak jenis satire ketuhanan yang terhampar di muka bumi, termasuk kutukan terhadap kaum Ad, kisah pembunuhan anak kecil oleh Khidir yang disaksikan Musa dalam perjalanan ke tanah-tanah liar yang tak satu pun Musa boleh melontar tanya. Kisah-kisah pengelanaan ini, kita terima dalam kekaguman sebagai anak kecil. Kekaguman jenis ini lebih dahsyat, karena berasal dari kepolosan, kesucian seorang anak. Kekaguman nan polos.
Ada sedutan kecil dalam lorong nan senyap tentang sufi pengelana. Kaum “pencahari jauhar”, bergerak dari ruang ke ruang lalu melempar sauh di sebuah tapak nan teduh. Ya, ke tanah-tanah tak berpenghuni. Mereka disebut sebagai “al-Auliya ash-Sha’ihun”. Merantau (“siyahah”) adalah berjalan di atas muka bumi untuk merenung dengan cara melihat jejak-jejak masa lalu dan juga merenung atas umat-umat sebelumnya yang binasa. Para pengelana suci ini beranggapan bahwa bumi senantiasa riang dan bangga, karena ada orang yang berdzikir kepada Tuhan di atas dadanya (bumi). Para auliya ini, para pencari jauhar ini, pemburu nirmala spiritual ini adalah sejumlah “pengalah” demi hak-hak makhluk lain. Bukan untuk kepentingan ego diri sendiri. Mereka sadar sesadar-sadaranya, bahwa kawasan bumi yang dihuni manusia, sudah jelas ada yang berdzikir di atasnya. Walau pun hanya setakat dzikir yang tercuap dari bibir muslim yang awam. Sementara, ada tanah-tanah jauh yang tak dihuni manusia, dan tak pernah terdengar desah dzikir yang berlantun di atasnya. Atas kesadaran ini pula lah, para auliya pengelana ini merasa wajib merantau, menyeberang dan menyapa tanah-tanah senyap, tanah sepi, tanah liar dan sayup seperti pantai, lembah, lereng gunung, puncak gunung, yang tak terambah, kecuali orang-orang yang bernyali kuat. Maka, sapalah tanah itu, rekahlah tanah itu dengan dzikir, dengan puisi atau lantunan ayat-ayat serba lembut, membuai dan menghayun tentang keindahan tak terpemanai. Maka, merekahlah bebunga di puncak gunung, di sepanjang pantai, lembah-lembah, dan mereka saling bersahutan dengan segenap penghuni yang “terbiarkan” dari sapaan dzikir manusia suci selama ini.
Mereka merindukan nama Tuhan untuk disebut di serata bumi. Untuk itu, tiada jalan lain, para pengenala dalam semangat bohemian, “hippies” atau “naturalist” juga penyair merasa perlu untuk pergi dan menyapa kawasan-kawasan jauh dan sayup dari tapak rumah, sayup dari kantor, sayup dari kehebohan pengeras suara masjid, yang terbilang sebagai tanah “masih” liar dan tak pernah dijamah manusia. Pada tata lahirnya, dzikir untuk bersedekah kepada bumi; agar membuat ‘dada’ bumi menjadi girang, riang ria dalam perjumpaan spiritual dengan makhluk spiritual bernama manusia. Bagi para auliya pengelana semacam Abu Abdillah Muhammad Ibn Asyraf dari Ronda atau Ibn Arabi dari Murcia, ber-dzikir di tempat nir-penghuni, adalah bagian dari ketaatan dan kecintaan kepada Rabb. Mereka ingin, agar bumi tempat mereka berdzikir juga menjadi saksi atas hubungannya dengan Rabb.
Puisi? Dan para penyair, berkelanalah menjinjit puisi ke tanah-tanah jauh, tanah-tanah liar. Seonggok puisi nan diam, dia laksana rembulan. Ketika dia berbunyi dia laksana matahari. Ketika puisi mendiam, menyenyap, dia tengah menjalani tugas profane (keduniawiannya); namun saat puisi menyalak dan bergetar, puisi tengah menjalani tugas sakralitas (divine/langit). Jinjit dan salakkanlah ‘tugas langit” dari puisi itu wahai penyair ke tanah-tanah liar yang tak berpenghuni. Ajaklah dia menyapa, bukan menerkam, dalam bunyi kesemestaan, dalam sapaan “menjinakkan”, dalam nada falsetto namun menyayat. Di sini, di tanah-tanah liar itu, telah berabad kerajaan demi kerajaan telah dibina dalam diam oleh makhluk bukan manusia. Maka, sapa dan merantaulah dengan jinjitan “tandan” penyadaran akan menyapa yang ‘berbagi’. Mungkin di kaki gunung Daik? Mungkin di teluk meliuk nan damai di kepulauan Anambas? Berpuisilah! Menyapalah kepada yang serba sayup… Tak mesti melapor ke kota.