

Pada tulisan lalu saya sudah bertutur tentang Alun-alun Malang dan Museum Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia. Kali ini saya ingin bercerita tentang hal lain dan menurut saya cukup menarik juga, sih. Selepas puas menikmati malam hari di Alun-alun Magelang, dan setibanya di hotel Sriti, resepsionis hotel menawarkan pada saya wisata lokal. Katanya ada paket tour ke Candi Selogriyo dan beberapa tempat wisata lain dengan merental mobil jenis Avansa plus sopir. Saya sepakat, dan esok pagi-pagi saya ditemani Mas sopir yang sudah siap-siap menunggu saya di lobby hotel.
Sedikit tentang Candi Selogriyo. Nama candi ini agak asing bagi saya, maka saya coba cari tahu dibeberapa literartur, ternyata Candi Selogriyo yang terletak di Dusun Capurejo Desa Kembangkuning Kecamatan Windusari Kabupaten Magelang. Candi ini diperkirakan merupakan peninggalan purbakala dibangun sekitar abad ke-9 zaman Mataram Kuno. Lokasi candi Selogriyo berada sekitar 15 kilometer jika melalui Kecamatan Bandongan atau lewat Windusari. Candi ini pertama kali ditemukan oleh salah satu resi besar pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1835. Sama halnya dengan Candi Borobudur, Candi Selogriyo saat ditemukan kondisinya juga memprihatinkan; bagian atas hilang. Selanjutnya sang resi meminta bantuan seorang Belanda bernama Hartman membentuk tim yang kemudian berhasil merekonstruksi sebagian candi yang telah berserakan.
Ukuran Candi Selogriyo relatif kecil dan bentuknya juga sederhana. Candi ini bergaya Hindu dan bentuknya mirip dengan candi-candi lain yang ada disekitar daerah Kedu atau dataran tinggi Daeng. Denah bangunan berbentuk segi empat palang dengan ukuran 5,2 M x 5,2 M dan tinggi sekitar 4,9 M. Di dalam candi ada sebuah bilik kosong yang bisa digunakan untuk bersemedi. Tapi menurut perkiraan dahulu di dalam candi ini ada lingga atau yoni yang mana merupakan simbol dari Dewa Siwa. Lalu, empat sisi dinding candi memiliki relung yang berisi arca perwujudan dewa. Ada juga ahli yang memperkirakan Candi Selogriyo dibangun semasa Wangsa Sanjaya yaitu sekitar abad ke 8 dan berdiri di atas ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Jarak Candi Selogriyo ke Candi Borobudur tidaklah jauh, hanya sekitar 25 Km ke arah barat laut.
Letak candi Selogriyo ada di kaki Bukit Sukorini dan Bukit Giyanti. Tepatnya di sekitar lereng Gunung Sumbing yang terpencil dari pemukiman penduduk. Candi ini menjadi indikasi tempat pemujaan para pendeta Hindu yang dahulu lebih memilih bertempat tinggal di daerah-daerah terpencil agar lebih tenang dalam menjalankan semedi. Dalam filosofi Hindu; sungai sebagai suber air kehidupan, sedangkan gunung merupakan tempat tinggal para dewa. Memang, tidak jauh dari Candi Selogriyo terdapat aliran sungai yang berada di pinggiran hutan dan sekitarnya sudah banyak sawah penduduk. Itulah sedikit deskripsi tentang Candi Selogriyo yang akan kami datangi.
Untuk mencapai lokasi candi, hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki sekitar 2 Km atau dengan menaiki sepeda motor melintasi jalan sempit mendaki dan itupun tidak bisa sampai di halamana candi, melainkan harus berhenti sekitar beberapa ratus meter lalu berjalan kaki lagi menju lokasi candi. Saya dan Mas Sopir memilih untuk berjalan kaki. Mobil dititipkan di halaman penduduk dan kami mulai berjalan santai sambil menikmati suasana aktivitas masyarakat di pagi hari. Rumah-rumah sederhana penduduk mengingatkan saya kembali pada masa-masa kecil yang juga tinggal di rumah dengan kondisi yang tidak jauh berbeda.
Beberapa ratus meter di pinggiran perumahan penduduk, ada sebuah gapura yang bertulis “Candi Selogriyo” yang letaknya di kelilingi persawahan dan berdekatan dengan perkampungan penduduk. Beberapa ratus meter berjalan dan memang terasa jalan mulai mendaki menelusuri lereng bukit dan hanya jalan setapak itu satu-satunya akses menuju candi. Sebagaian besar jalan dengan lebar 1-1,5 meter yang dipasangi batu paving block memang nyaman untuk dilalui asal tidak dalam kondisi hujan atau sehabis hujan. Jika hari hujan sebaiknya berlindung dibeberapa pos yang memang sengaja di bangun di pertengan lintasan. Tetapi jika selepas hujan, sebaiknya berhati-hati karena batu dan tanah tetap terasa licin.
Walaupun perjalanan menempuh lebih kurang 2 Km, tetapi disepanjang jalan kita disuguhi pemandangan yang asri. Sawah-sawah sebagian menguning tetapi sebagian juga baru di tanam. Kita hanya berjumpa penduduk satu atau dua orang saja yang kebetulan membawa hasil bumi atau mencari kayu. Kebetulan hari itu tiada satu pun wisatawan yang saya jumpai. Tentu suasana ini tidak bisa dikomparasi dengan saat berkunjung ke candi-candi yang lebih besar seperti Candi Borobudur, Mendut, Prambanan atau lainnnya yang memiliki akses jalan yang lebih baik.
Bagi saya, akses menuju Candi Selogriyo sebenarnya tidaklah begitu sulit. Bagi orang yang sehat tentunya jarak 2 Km berjalan kaki bukanlah menjadi masalah. Bahkan ini menguntungkan bagi kesehatan, ya setidaknya 125-300 kalori tubuh akan terbakar, bukan?
Sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di lokasi candi. Dan untuk sungguh-sungguh berada di depan candi, kita harus menaiki tangga tanah yang dibentuk sedemikian rupa dan sebagian tangga itu disusunkan batu alam sehingga terkesan alami.
Di dekat candi ada sebuah pos penjagaan yang biasanya ada seorang petugas yang bertugas disana. Saya pun heran mengapa candi ini harus dijaga? Ternyata ada saja tangan jahil dan niat sebagaian orang yang suka mencuri barang ourbakala dengan motif uantuk dijual sebagai barang antik. Benar saja, saya melihat salah satu patung yang ditempatkan di dinding sisi timur sudah hilang kepalanya. Sebagai peminat sejarah, tentu saja saya kecewa. Tapi ya begitulah kenyataan yang ada; antara motif ekonomi dan pewarisan nilai sejarah terkadang bertolak belakang. Apa mau dikata lagi, gumam saya.
Di sisi tenggara ada sebuah pohon kelengkeng yang kebetulan berbuat sangat lebat. Kebetulan hari mulai terik, dan begitu sejuk ketika kita berlindung di bawah pohon kelengkeng yang ukuran diameter batangnya sekitar 25 cm.
Tanah halaman candi berbentuk datar dan ditumbuhi rumput jenis paitan juga diselingi beberapa ragam bunga hias. Candi Selogriyo ini memang berada di lereng bukit dan di depannya hamparan sawah, hutan dan sungai. Saya yakin kendala wisawatan adalah infrastuktur jalan menuju candi. Di sini tidak ada ditemui kios-kios penjual souvenir seperti layaknya beberapa candi besar di Jawa Tengah. Di sini benar-benar kita merasakan sensasi mendatangi sebuah situs purbakala dan seakan hanya alam sekitarnya sajalah yang bisa bercerita kepada kita.*
Luar biasa