

Oktober 2008 saya datang di Madura tentu saja waktu itu antara Surabaya dan Gamal sudah terhubung dengan sebuah jembatan yang popuker dengan nama Suramadu. Menyebut nama jembatan ini sebenarnya ada kesan kesal saya, atau setidaknya membangkitkan rasa kesal saya yang sudah beberapa tahun lalu. Ceritanya, waktu itu satu malam sebelum saya berangkat ke Madura percisnya ke Ambunten, Sumenep, saya menyempatkan diri untuk hunting foto jembatan Suramadu. Saya tiba di lokasi dan tentu saja beberapa lama saya mencari view mana yang bagus untuk memotret jembatan Suramadu. Setelah mendapatkan lokasi yang cocok, saya perlu beberapa saat untuk mempersiapkan kamera dan tripod. Seingat saya tidaklah begitu lama, sekitar 5 sampai 10 menit saja. Setelah semua terpasang ready, hanya tinggal tekan timer, eh, tiba-tiba lampu jembatan yang warna warni itu padam. Saat itu saya masih bersyakwasangka positif, barangkali beberapa menit nanti akan kembali hidup, batin saya. Supaya tidak bengong dan untuk mengisi waktu menunggu, saya pesan jagung bakar yang kebetulan ada banyak penjual jagung bakar di situ. Setelah jagung habis saya makan, iseng-iseng saya tanya pada sipenjual jagung:”Cak, lampunya biasanya berapa lama hidup lagi ya?” “Biasanya kalau sudah mati besok lagi hidupnya, Pak.” Tentu saja jawaban ini bukan yang saya inginkan. Dan rasanya sisa-sisa jagung bakar yang ada dalam mulut saya hampar jadinya. Inilah sekelumit kekesalan saya, jika teringat nama Suramadu.
Dengan bus dari Terminal Bungurasih Surabaya ke Sumenep, saya mencatat hampir lima jam perjalanan. Setelah melalui jembatan Suramadu sebuah jembatan ikon milik orang Jawa Timur yang membentang di atas selat Madura merupakan jembatan terpanjang saat ini di Indonesia, sekitar 5.400 meter panjangnya. Ya tentu saja cukup lama karena bus ini siap untuk berhenti dan diberhentikan penumpang dimana dan kapan saja. Satu persatu kota-kota bekas Keresidenan Madura dilalui mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Saat memasuki Pamekasan hingga Sumenep kita sudah dapat menikmati pantai dan tentu saja ada banyak petak-petak tambak garam di situ. Perjalanan Pamekasan – Sumenep mirip perjalanan Pantura; karena sepanjang jalan mata kita dapat menyisir pantai yang jaraknya tidak begitu jauh. Sebuah perjalanan yang tidak membosankan walaupun ditempuh waktu cukup panjang. Satu hal lagi yang memberi kesan pada saya bahwa disepanjang jalan ada bekas rel kereta api yang sudah tidak aktif. Saya lihat sebagian besar relnya masih utuh. Dalam hati saya tentu, kalau di Sumatra barangkali sudah rata tanah, sebab saya teringat dengan sebuah lokomotif di Kecamatan Lipatkain yang semula saya jumpai masih utuh, tetapi beberapa tahun kemudian tinggal sepertiganya saja. Miris, bukan?
Saya tiba di Sumenep sekitar waktu zuhur, dan di sana sudah ada seorang sahabat muda saya yang menjemput, Dwi namanya. Dwi yang saya kenal secara kebetulan di Pekanbaru dan kami sering komunikasi via telepon. Suatu hari dia katakan kalau dia dan istrinya berada di Madura percisnya di Ambunten. Dan Dwi inilah yang menjemput saya dengan sepeda motornya.
Jika Sumenep terletak dibagian tengah Pulau Madura, maka Ambunten terletak dibagian utara Pulau Madura. Tidak memerlukan waktu lama menuju Ambunten, hanya saja jalan-jalan luar keresidenan Madura termasuk sepi dan asri. Ada banyak vegetasi yang tumbuh termasuk pepohonan berumur ratusan tahun shingga sepanjang jalan terasa rindang. Saya coba bertanya pada beberapa masyarakat di sana, mengapa penduduk di sana tidak begitu padat seperti di Pulau Jawa, misalnya. Jawabannya, sebagian besar penduduk Madura suka merantau dan mencari penghidupan baru di tempat lain. Kalaupun ngumpul, paling saat momen lebaran atau ada pesta sanak saudara. Demikian kira-kira jawaban mereka. Demikian juga dengan penduduk di Ambunten, saya lihat jarak antar rumah satu dengan lainnya masih jauh. Hal ini memberi indikasi bahwa kepadatan atau pertumbuhan natalitas tidak begitu besar atau angka migrasi penduduk yang tinggi. Tapi secara kualitatif saya lebih yakin angka migrasi penduduk Ambunten tinggi. Hal ini tentu saja saya lakukan konfirmasi pada beberapa penduduk dibeberapa titik tempat tinggal yang berbeda.
Di Ambunten tanaman yang banyak saya jumpai adalah jagung. Bahkan di rumah-rumah penduduk banyak jagung yang dijemur dan ada juga jagung tongkolan yang digantung di teras samping atau bale-bale rumah. Menurut saya orang Madura religious, di Ambunten sendiri saya jumpai banyak rumah penduduk yang memiliki surau di sebelah rumahnya.
Pada suatu kesempatan, Dwi mengajak saya ke Pantai Slopeng, yaitu sebuah pantai yang terletak di bagian utara Pulau Madura dan jaraknya tidak begitu jauh dari Ambunten. Hanya pengunjung lokal yang ramai, wisawatan luar saat itu tidak saya jumpai. Di sini ombaknya besar dan garis pantainya juga panjang. Air lautnya biru gelap menandakan dasar yang dalam. Di depan tentu saja merupakan hamparan Laut Jawa yang luas. Tetapi ada hal lain yang menarik; di pantai ini banyak perahu nelayan perahunya dicat warna-warni khas Maduraan. Selain itu perahunya juga ramai dihiasi umbul-umbul, jadi kreatif sekali para nelayan ureng Madura ini.
Pada kesempatan yang lain saya coba berkunjung ke Pelabuhan Kalianget yang merupakan Keresidenan terujung letaknya di Pulau Madura. Di Kalianget ada banyak gudang garam yang dibangn di zaman colonial. Di situ juga ada lokomotif peninggalan Belanda dan Jepang yang sudah tidak aktif lagi. Jadi, kalianget merupakan tempat edukasi sejarah yang baik khususnya tentang kejayaan Sumenep sebagai penghasil garam seperti yang dituliskan dibuku-buku sejarah SD yang pernah saya baca.
Sebelum saya meninggalkan pulau Madura, saya masih sempat menginap satu malam di Sumenep. Saya gunakan waktu untuk masuk ke pasar-pasar tradisional di sana. Ya, tentu saja ada banyak bumbu petis yang terkenal itu. Petis adalah belacannya orang Madura. Biasanya dipakai untuk campuran pada bumbu rujak seperti rujak cingur. Tapi petis juga bisa dioleskan pada tahu goreng, dan tahu goreng petis sangat terkeal pula di Surabaya toh justru bukan di Madura. Ada hal menarik juga yang saya jumpai, yaitu irisan pisau pada ikan bakar yang dujual di pasar. Jika biasanya saya melihat ibu-ibu mengiris ikan percisnya secara membentang sehingga ada banyak irisan. Tetapi orang Madura tidak melakukannya demikian, irisan ikan mengikuti panjangnya badan ikan. Jadi jumlah irisan tidak banyak tetapi panjang ya sepanjang badan ikan. Alasannya, biar bumbu lebih banyak meresap dalam tubuh ikan.
Malam hari saya masih sempat berkunjung ke Mesjid Agung Sumenep. Mesjid ini letaknya percisi di depan Alun-alun kota. Masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Jamik Sumenep dibangun semasa Kekuasaan Panembahan Somala. Masjid ini awalnya kecil saja dan dibangun untuk kperluan keluarga keraton. Mula-mula dikenal dengan nama Masjid Laju yang dibangun oleh Adipati ke-21 Sumenep Pangeran Anggadipa. Oleh karena kapasitasnya yang tidak memadai lagi, selanjutnya Pangeran Natakusuma pada tahun 1779 memerintahkan untuk membangun masjid yang lebih luas. Dan untuk keperluan pembangunan masjid yang diinginkan Pangeran Natakusuma, ia mendatangkan seorang arsitek China bernama Lauw Piango, dan masjid itu selesai [ada tahun 1787].
Siapa yang tidak kenal dengan karapan sapi Madura? Walaupun di Sumatra Barat ada juga olahraga berbasis budaya sejenis “Pacu Jawi” namnya. Di beberapa tempat saya memang menemui patung karapan sapi; sepasang sapi dan seorang jokinya. Tetapi di kantor pemeritahan Sumenep saya justru menemui patung jaran alias kuda bersayap sebagai lambang pemerintahan. Kemudian saya mencari tahu tentang hal ini: Mengapa tidak karapan sapi sebagai simbol melainkan kuda bersayap? Ternyata seseorang yang saya tanya itu bertutur bahwa dahulu ada seorang jahat yang memiliki kesaktian mandraguna memperkosa banyak wanita Madura. Dia datang dari arah Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan terakhir mau masuk Sumenep tetapi dia dihadang oleh Joko Tingkir yang sakti pula. Dalam suatu pertempuran, ia terbunuh oleh Joko Tingkir dan saat mengalahkan sang penjahat, kendaraan tunggangannya adalah kuda. Jadi kuda dijadikan simbol sebagai bentuk penghargaan terhadap keberhasilan Joko Tingkir menyingkirkan sang enjahat yang suka perkosa perempuan itu. Nah, itulah cerita Cak Mus pada saya yang disimpulkannya sebagai bentuk legenda.*