

Pengantar:
Berikut ini ulasan yang saya tulis pada buku puisi karya Musthamir Thalib, seorang jurnalis, penyair, pendidik serta pengurus lembaga pendidikan di Pekanbaru, berjudul BANTENG BERSAYAP KUPU-KUPU, diterbitkan oleh Deepublish, Yogyakarta, tebal 221 halaman, memuat 94 judul puisi, termasuk didalamnya 4 artikeliris, serta 27 campuran Syarir, Gurindam, Igal-igalan, Thalibun. Mosthamir lahir di Igal, Inhil, menamatkan di FKIP UNRI Prodi Bahasa Sastra Indonesia (1989), lulusan Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta (1993), S2 Magister Administrasi Publik UNRI (2016). Selamat membaca.
Ketika datang bulan Agustus, suasana bahagia tentunya menjadi suasana yang ditunggu-tunggu bagi penduduk negeri ini, negeri Riau dan negeri Indonesia. Negeri Riau yang hari kelahirannya diperingati setiap 9 Agustus kali ini menerima kado ulang tahun berupa diundangkannya UU No 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau. Salah satu point penting UU ini adalah adanya narasi dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa Provinsi Riau memiliki karakteristik kewilayahan, potensi sumber daya alam, serta karakteristik adat dan budaya Melayu Riau. Melalui narasi di atas, nampaknya produk legislatif amat diperlukan dalam rangka menopang kehidupan adat dan budaya Melayu secara keseluruhan.
Kaum sastrawan memang memberikan respon atas setiap peristiwa politik yang ada, baik itu terjadi di negeri Riau ataupun di di negeri Indonesia melalui karya-karya sastranya baik puisi ataupun cerita pendek. Namun salah satu karakteristik dari kaum penyair adalah sikapnya yang kritis terhadap setiap keadaan yang berkembang di masanya. Memang selalu saja ada yang menulis tentang alam, kehidupan, sungai, lautan, ataupun puja-puji atas pencipta alam, namun sebagai sesuatu yang tak terhindarkan adalah adanya penyair yang selalu hadir untuk memberikan pandangan yang kritis.
Di awal bulan kemerdekaan ini, saya menerima hadiak antologi puisi Adhie M. Massardi Pengantar Pergantian Kekuasaan , Booknesia, 2020. Penyair yang pernah menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, menulis 120 puisi yang umumnya merupakan puisi-puisi politik, yang kritis. Rizal Ramli memberikan catatan epilog dengan judul Memahami Kemarahan yang dengan bahasa cukup cermat menulisnya sebagai berikut ….. akhir 2009 dunia pergerakan nasional dikejutkan oleh puisi Negeri Para Bedebah. Sajak ini menjadi sangat terkenal dan fenomenal karena tiga hal. Pertama, ia muncul di tengah hirup pikuk perseteruanKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI yang dikenal dengan istilah Civak vs Buaya. Kedua, puisi yang diucapkan langsung penyairnya di depan gedung KPK ini kemudian ditayangkan Metro TV setiap hari selama beberapa pekan. Tapi yang paling penting adalah faktor ketiga. Puisi Negeri Para Bedebah menggunakan kata-kata sederhana dan idiom (keagamaan) yang sudah sangat familiar dalam benak masyarakat, terutama kaum Muslim.
Ada satu negeri yang dihuni para bedebah/lautnya pernah dibelah tongkat Musa/Nuh meninggalkan datarannya karena direndam bah/ dari langit burung-burung kondor/menjatuhkan bebatuan menyala-nyala/
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?/ itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah/ tapi rakyatnya makan dari mengais sampah/ atau menjadi kuli di negeri orang/ yang upahnya serapah/ dan bogem mentah/
WS Rendra termasuk penyair yang berpindah mazhab, dari penyair yang awalnya senang untuk membicarakan cinta, kehidupan, alam, sungai, gunung, laut kemudian seiring bangkitnya Orde Baru menulis tema-tema kritis. WS Rendra bergabung dengan para aktifis mahasiswa di Tahun 1970-an dan dalam sebuahacara di kampus ITB ia membacakan sajaknya yang amat terkenal berjudul Sebatang Lisong. Sajak ini pun menjadi bagian penting dalam film arahan Sutradara Syuman Djaya pada Tahun 1977: Yang Muda Yang Bercinta.
Menghisap sebataang lisong/ melihat Indonesia Raya/ mendengar 130 juta rakyat/ dan di langit/ duatiga cukng mengangkang/berak di atas kepala mereka/
Matahari terbit/fajar tiba/ aku bertanya/ tetapi pertanyan-pertanyanku/ membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papan tulis-papan tulis para pendidik/yang terlepas dari persoalan kehidupan
Kumpulan puisi WS Rendra yang berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan, Tahun 1980, dengan kata pengantar dari Prod. A. Teeuw, Karena keterus terangannya dalam menyampaikan kritik pada rezim yang ada, ada saja pengamat yang menjuluki WS Rendra sebagai penyair pamflet. Tetapi bagi Rendra, hal itu tak membuatnya mundur atau berhenti untuk menulis puisi-
Aku Tulis Pamplet ini/karena lembaga pendapat umum/ ditutupi jaring labah-labah/ orang-orang bicara dalam kasak-kusuk/ dan ungkapan diri ditekan/ menjadi peng-iya-an/
Apabila kritk hanya boleh lewat saluran resmi/maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam/ lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan/ tidak mengandung perdebatan/ dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan/
Sebetulnya setiap penyair yang telah banyak makan asam garam, pasti suatu saat akan melihat alam yang takambang di sekitarnya, termasuk alam kekuasaan yang dikelola oleh para politisi dan umumnya mereka itu telah berlaku tidak adil, tidak mau mendengar suara rakyat, telah zalim kepada alam dan kehidupan orang miskin, dan sering kali pula menghamba pada kekuatan besar di dunia ini (kaum kapitalis ataupun negara adikuasa) .
Lihat saja penyair Ediruslan Pe Amanriza, dari Riau, yang ketika di awal reformasi, menulis puisi yang mengisahkan penderitaan negeri Riau, di hisap dan dizalimi oleh kekuasaan sentral di jakarta, sehinga menjadikan Riau hanya sebagaai sapi perahan atau ladang perburuan dari kaum kapitalis (cukong) baik kapitalis dalam negeri ataupun kapitalis luar negeri. Kesesakan dadanya dituangkan dalam puisi Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta.
Akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta /dari negeri kami yang jauh/ kau terlihat semakin angkuh/ tak tersentuh/ Setelah 55 tahun bersama/akhirnya terasa/ masyarakat sejahteraa/ yang tak berkeringat air liur diucapkan/ ketika kalian bertutur kata/tak kunjung jua/
Setelah 55 tahun bersama/nyatanya/ tak seharipun kami merasa bahagia/hidup kami sepanjang tahun/ asyik dirundung duka nestapa/ 55 tahun kalian bangun/ tasik yang penuh air mata/ dan kami tenggelam di dalamnya/ 55 tahun kami daki/ gunung darah dan keringat kerja/ dan kami tergapai-gapai di atasnya/ /
Apabila dilihat buku kumpulan puisi dari penyair Taufiq Ismail seperti Malu (Aku) jadi Orang Indonesia (Yayasan Ananda, 2005), 3 jilid antologi Dust On Dust, Debu di Atas Debu, (Horison, 2014) yang kalau dibaca mayoritas isi puisinya selalu mengkritisi zaman dan perkembangan situasi kondisi kekuasaan ataupun budaya dan perilaku masyarakatnya. Artinya, perilaku dan budaya masyarakatnya yang menurut Taufiq Ismail adalah budaya dan perilaku yang terkebalakang dan rimitif, haruslah dikritisi dan dikoreksi seperti budaya olahraga tinju, kebiasaan merokok, tidak disiplin, kebiasaan tidak suka membaca.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/ erjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/ Berjalan aku di Sixth Aveneu, Maydan Tahrir dan Ginza./ Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia/ di sela khalayak aku berlindung dibelakang hitam kacamata/ dan kubenamkan topi baret di kepala/ Malu Aku jadi orang Indonesia/
Di sebuah pagi, di tengah terik kotaku, sahabat saya, Mosthamir Thalib menyampaikan niat untuk sebuah rencana penerbitan buku puisinya, yang akan berjudul Banteng Bersayap Kupu-Kupu./ Memang penyair di kota ini, seolah-olah telah menjadi kebutuhan khusus rohaninya/spiritualnya untuk senantiasa mengawal tradisi menerbitkan buku puisi, baik sendirian ataupun berjemaah. Sebuah tradisi yang saya kira perlu terus dirawat dan dikembangkan. Melihat judul-judul puisi yang inginditerbitkan itu, tahulah saya bahwa mazhab kepenyairan bung Mosthamir ini, berada dalam satu genre dari penyair-penyair yang sudah saya sebutkan di atas. Walaupun ia sering menulis episode kejenakaan namun watak asli itu tidak menyebaban ia kehilangan daya kritis untuk selalu mengomentari peristiwa politik yag ada di hadapannya. Gaya penulisannya memang tak lepas dari pengaruh dari sejumlah penyair besar Indonesia, walaupun di sanisini Mosthamir hendak menunjukkan ciri khas karakteristik dirinya.
Mari diperhatikan puisi yang menjadi judul buku puisinya itu, Banteng Bersayap Kupu-Kupu, yang panjangnya sekitar 16 halaman.
Cik Puan Putri, putri pemalu/ Sedikit ketawa banyak tersisipu/ tak banyak cakap pandai melagu/ besar nampan eh, besar pula nafsu/
Emak. Ombak besar bergulung-gulung.
Ya. Buih-buihnya berbunga-bunga/ ditimpa cahaya sang purnama/
Malam ini, Cik Puan Putri bersama emaknya/ duduk di pantai. Menikmati purnama bulan lima/ menikmati debur-erau ombak, menyapa bebatu: merentak-rentak, berima-irama. Berderai-derai/
Emak. Lihat di bulan itu. Ada kuda terbang.
Bukan kuda. Nak. Itu banteng di surga/ ditunggang putri ayu jelita./ Cik Puan Putri tersenyum bahagia./ Dialah itu acahnya; si penunggang banteng perkasa berparas jelita/. Terbang dan hinggap dari satu planet ke planet lainnya/ di jagat raya. Ke mana pun dia suka/
Sandiwara politik tak lepas dengan kejenakaannya, dan juga dengan tipu muslihatnya. Hal ini dimainkan dengan bebas dalam puisi 16 halaman itu, yang mau tidak mau mengingatkan pembaca pada peristiwa politik yang terjadi pada Tahun 2022, tahun politik menjelang pencalonan Calon Presiden dan Wakil Calon Presiden yang pemilihannya akan berlangsung pada tahun 2024.
Menariknya lagi, dalam narasi puisi yang oleh Mosthamir ingin ia namakan sebagai Artikel Puisi, dengan berani ia masukkan percakapan atau dialog antara tokoh yang ada dalam bentuk bantun, yang amat dikenal dalam khazanah budaya Melayu. Lihatlah dialog ini :
Lantas berpantunlah ia, berpelan-pelan macam bergumam:
Bulan purnama terangi alam
Langit cerah bertabur bintang
Dalamnya laut tu dapat diselam
Tingginya ombak dapat direnang
Jantan Kharisma lengsung terkesima. Dia kira Ratu Pantai Selatan datang ke Utara tetiba menjelma. Gugupnya jantung nyaris pecahkan dada. Dibalasnya pantun itu dengan ketawa:
Ahaaaaa!
Ombak bergulung berdentum-dentum
Lampu perahu nelayan berkelap-kelip
Mengapa nyelinap di tengah malam
Adakah sesuatu yang Puan intip?
Selain bentuk pantun, penyair Mosthamir juga mencoba untuk bermain dalam bentuk gurindam, sesuatu yang sangat terkenal ketika kita membaca Guribdam 12 karya Raja Ali Haji. Banyak penyair yang salah satu media ekspresinya juga menggunakan gurindam. Diantaranya yang saya ingat adalah Penyair WS Rendra, Taufiq Ismail, Fakhrunnas MA Jabbar. Tentang isi gurindam mereka tentu saja mengikuti trend masa kini, yang penuh dengan keinginan untuk memperkatakan zaman.
Sama-sama dengan menggunakan judul Gurindam, saya ingin memberikan gambaran dan sandingan antara Taufiq Ismail dan Mosthamir Thaib, sebagai berikut:
Taufiq Ismail:
1. Harimau mati meninggalkan belang/ Pedagang mati meninggalkan hutang / Rakyat mati tinggal belulang
2. Ketika serakah melangkah ke bukit sana/ meletus gunung api asap ke mana-mana/ ketika serakah bergelayut di tepi awan/ 100 juta miskin sengsara, dihimpit pengangguran/
Mosthamir Thalib:
1. Bila presiden selalu berjudi/ Bangsanya keren jadi pemimpi/Apabila rakyat banyak melarat/Negeri sekarat bangsa pun tamat
2. Bila pemimpin memanjakan konglomerat/ rakyat yang ditumbal menjdi melarat/ kekuasaan negara jadi pemuas syahwat/ kedaulatan bangsa pun kan sekarat/
Nampaknya bila disandingkan macam contoh di atas, umumnya penyair akan memiliki simbol-simbol yang sama dalam menilai alam kekuasaan yang ia sedang hadapi. Ada semacam pemberontakan atau kemarahan kata-kata, namun ia hanya bisa berkata-kata. Sama dengan apa yang dikatakan penyair yang hilang sampai detik ini sejak masa Orde Baru, Widji Tukul, hanya ada satu kata : Lawan !
Mosthamir beberapa masa yang lalu, selalu menulis dalam celoteh Ramadhan di Harian Riau Pos, dalam rubrik Celoteh Wak Atan. Karenanya ia pun sering juga dipanggail sebagai Wak Atan. Di dalam panggilan itu tersirat makna kejenakaan yang merupakan ciri khas puak Melayu. Lihatlah sebuah puisinya yang ia sebut sebagai puisi igal-igalan, jenaka tapi sangat menyindir keadaan politik negeri ini. Dlam puisi bejudul Nasib Datuk Surat Sakti, ia menulis
Datuk pegang adat
Ahok pegang menteri
Datuk pegang tanah ulayat
Ahok pegang surat sakti
Datuk: “ Bedebah keparat !’
Ahok : “We sudah kasi itu upeti “
Datuk geram/
Ahok geli
“Makanlah itu duit haram!”
“ Yang haram tu Cuma babi”
Bagi saya membaca Banteng Bersayap Kupu-Kupu haruslah juga dengan rasa jenaka, walau isinya menyikut sana menyikut sini. Karena bagaimanapun dunia puisi adalah dunia kata-kata, yang tak akan habis-habisnya ditulis oleh para penyair. Rezim yang sekarang ini, yang dihadapi Mosthamir memang sering kali menjebloskan seorang penulis media sosial ke kepenjara karena tulisannya yang berbau hoax atau berisi kebencian (hate speech) pada sebuah kelompok bernuansa SARA, , namun agaknya belum ada yang menjebloskan seorang penyair karena puisi-puisi yang ditulisnya. Tentu saja hal ini cukup menggembirakan.
Selamat membaca dan menikmati Banteng Bersayap Kupu-kupu ! Insya Allah buku puisi ini akan memperkaya pemahaman seseorang untuk memahami bangsa ini secara lebih lengkap.
HUSNU ABADI adalah seorang Deklarator Hari Puisi Indonesia, di Pekanbaru, November 2012,
Penerima Penghargaan Makrifat Mardjani Award (2022) dari APHTN HAN Wilayah Riau; Penerima Z. Asikin Kusumaatmaja Award (Perhimpunan Penulis Buku Hukum Indonesia/Prof. Dr. Erman Rajagukguk, 2014); Penerima Penghargaan Sastrawan Budayawan Sagang, 2015; Penerima Penghargaan Sastrawan Budayawan Sanggar LDT UIR, 2005.
Buku puisinya Lautan Kabut ( UIR Press, 1998) ; Lautan Melaka (UIR Press, 2002) ; Lautan Zikir (UIR Press 2004); Lautan Taj Mahal (Salmah Publishing, 2021). Bersama Fakhrunnas MA Jabbar menerbitkan Di Bawah Matahari, 1981 dan Matahari Malam Matahari Siang, 1982. Lainnya: Ketika Riau, Aku Tak Mungkin Melupakan Mu (UIR Press, 2004) dan Leksikon Sastra Riau (UIR PRESS- BKKI RIAU, 2010).
Lahir di Majenang, Yogyakarta 1950, dan kini (2022) sebagai Assoc. Prof. (Hukum) pada PPS UIR dan UNRI.